Musik tradisional Sunda yang diketahui saat ini sangat banyak ragamnya. Beberapa di antaranya terbuat dari bahan bambu, seperti angklung, suling, calung, dan arumba. Instrumen angklung tentunya sangat akrab di telinga orang Indonesia, bahkan hingga mancanegara.
Tapi tahukah Anda bila instrumen-instrumen musik Sunda yang terbuat dari bambu telah ada sejak ratusan tahun yang lalu? Jejak musik dan alat musik zaman Sunda kuno itu dapat dilacak pada teks-teks Sunda kuno, yaitu yang ditulis pada naskah lontar dan gebang, menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuno dari abad ke-14 hingga abad ke-16 M. Naskah-naskah kuno itu sekarang masih tersimpan dengan baik di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta dan situs kabuyutan Ciburuy, Garut.
Orang Sunda pada zaman itu telah mengenal berbagai jenis bambu dengan sebutan awi dan pring. Sebagian besar nama bambu dalam teks Sunda kuna itu masih dapat dikenali di masa sekarang. Dalam teks Bujangga Manik tercatat nama bambu gombong dan nyowana. Bambu nyowana juga disebutkan pada teks Warugan Lemah. Bambu tamiang terdapat pada teks Warugan Lemah dan Bujangga Manik, bambu bitung disebutkan pada Carita Ratu Pakuan, bambu surat pada teks Sanghyang Swawar Cinta, sedangkan bambu tali, betung, temen, haur, ampel,dan buluh disebutkan dalam teks Kala Purbaka.
Kedekatan orang Sunda dengan bambu masih dapat kita temui hingga saat ini dalam kehidupan sehari-hari. Bambu banyak digunakan sebagai bahan dasar untuk perabotan rumah atau perkakas pertanian tradisional, contohnya boboko, hihid, ayakan, nyiru, carangkadll. Rumah-rumah di perkampungan pun cenderung masih menggunakan bambu sebagai bahan baku yang dapat diandalkan. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan kondisi alam yang baik untuk pertumbuhan berbagai jenis bambu, sehingga tumbuhan bambu sangat melimpah di wilayah Sunda.
Dalam khazanah musik tradisional, bambu masih digunakan sebagai bahan baku pembuatan waditra atau alat musik hingga saat ini. Selain untuk membuat suling, bangsing, karinding, calung atau angklung, saat ini bambu dikembangkan untuk bahan dasar pembuatan kacapi, gitar, biola, dan celo yang biasanya menggunakan bahan kayu.
Teringat dengan ungkapan Sunda kuno pada teks Amanat Galunggung yaitu "hana nguni hana mangké, tan hana nguni tan hana mangké", artinya 'tak akan ada masa kini bila tak ada masa lalu", begitu juga hubungannya dengan musik. Musik Sunda yang kita kenal sekarang tidak muncul begitu saja. Tentu saja, musik Sunda telah ada dari zaman dahulu, tetapi belum banyak orang yang tahu apa dan bagaimana musik Sunda pada masa lalu.
Apa saja alat musik bambu zaman Sunda kuno? Bagaimanakah bentuk dan bunyinya? Ada lima buah alat musik bambu yang tercatat dalam teks Sunda kuno yaitu abah, calintuh, gobeng, kumbang dan roél.
Instrumen abah disebutkan dalam teks Kawih Pangeuyeukan (KP). Bunyi suaranya dihasilkan dengan cara ditiup angin, seperti yang tertuang pada kalimat "sada abah kaanginkeun." Sayang, di dalam teks tersebut tidak ditemukan keterangan mengenai bentuknya. Namun demikian, alat musik ini disebutkan di dalam teks bersamaan dengan instrumen lainnya, yaitu calintuh dan gobeng.
Bentuk calintuh dan gobeng pun tidak disebutkan dalam teks KP, tetapi ada keterangan penempatan kedua instrumen itu. Terdapat kalimat yang menyebutkan bahwa, "sada calintuh di anjung" dan "sada gobeng di réngkéng." Sedangkan pada naskah Séwaka Darma (SD), disebutkan "sada gobeng di reksi, calintuh di anjung."
Calintuh saat ini masih digunakan oleh masyarakat Kanékés, Baduy. Instrumen ini ditempatkan di ladang Tangtu. Orang Kanékés menyebutnya calintu. Instrumen ini dibuat dari seruas bambu yang pada setiap bukunya dilubangi, kira-kira sebesar ibu jari. Setiap ruas memiliki satu lubang. Bila tertiup angin akan mengeluarkan suara mendengung. Terkadang suaranya seperti tangisan anak kecil. Dalam istilah musik Barat, instrumen serupa itu disebut aeolian flute.
Masih menurut kebiasaan orang Kanékés, calintu biasa dipasangkan bersama dengan kolécér yang juga dibuat dari bahan bambu. Kedua instrumen itu sengaja dipasang secara bersamaan sebab selain untuk mengusir hama, juga berguna untuk memelihara padi secara batiniah, dari mulai tanam, hingga panen. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap dewi padi Nyai Pohaci Sanghyang Sri. Di masyarakat kasepuhan Ciptagelar, calintuh disebut sondari. Sedangkan di Jawa disebut sebagai sendarén, dan di Bali disebut sunari.