Lihat ke Halaman Asli

Gen Z dan Burnout, Ketika Ambisi Membunuh Kesehatan Mental

Diperbarui: 4 Desember 2024   20:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Generasi Z (Gen Z), yang kini berada di kisaran usia 18 hingga 30 tahun, adalah generasi yang tumbuh dalam dunia yang sangat berbeda dari pendahulunya. Mereka dibesarkan di tengah kemajuan teknologi yang memungkinkan mereka terhubung dengan dunia secara instan, namun di sisi lain, tekanan untuk selalu produktif dan sukses semakin besar. Ambisi untuk mencapai tujuan dan kesuksesan di berbagai bidang, baik akademik, sosial, maupun profesional, sering kali mendorong mereka untuk bekerja tanpa henti. Ironisnya, ambisi ini, yang seharusnya menjadi pendorong kemajuan, justru sering kali mengarah pada burnout---keletihan emosional dan fisik yang bisa berakibat fatal bagi kesehatan mental mereka.

Tekanan untuk tampil sempurna, baik di dunia nyata maupun di media sosial, menciptakan ekspektasi yang tinggi dan sering kali tidak realistis. Gen Z merasa bahwa mereka harus selalu mencapai lebih banyak, bahkan ketika tubuh dan pikiran mereka mulai merasa kelelahan. Media sosial memegang peranan besar dalam hal ini, karena di sana mereka dapat melihat gambaran kehidupan orang lain yang tampaknya selalu sukses, bahagia, dan tanpa hambatan. Gambaran ini menciptakan ilusi bahwa kesuksesan harus dicapai dengan cara yang cepat dan tanpa henti, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk terus mengejar pencapaian tanpa memberi ruang untuk beristirahat.

Ambisi yang berlebihan ini seringkali berkembang menjadi fenomena yang dikenal sebagai overachievement. Dalam keadaan ini, Gen Z merasa bahwa mereka tidak hanya harus memenuhi ekspektasi yang ada, tetapi juga harus melampaui batasan mereka sendiri. Keinginan untuk selalu menjadi yang terbaik, baik dalam akademik, karier, maupun kehidupan pribadi, mengarah pada siklus kerja yang tiada henti. Mereka merasa bahwa waktu istirahat adalah pemborosan, dan setiap detik yang terbuang berarti mereka kehilangan kesempatan untuk mencapai lebih banyak. Hal ini menciptakan ketegangan internal yang terus menerus, di mana mereka tidak bisa merasa puas dengan apa yang telah dicapai karena selalu ada rasa kurang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline