Lihat ke Halaman Asli

Ilfin Nadhir Alamsyah

Pegiat Literasi / Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Buku di Rak Tua

Diperbarui: 18 Desember 2021   13:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

socialgrep.com

Aku adalah pemuda bujang yang masih seumuran  dengan kalian. Namun keseharianku tidak seperti pemuda pada umumnya. Aku sering membiasakan diriku belajar secara otodidak dengan ditemani buku-buku yang kubeli bersama pamanku beberapa tahun silam. Ya, meskipun aku bukanlah tamatan perguruan tinggi, namun  berkat pamanku yang peduli dengan nasibku saat itu aku menjadi mengerti dan sering membiasakan diri untuk membaca buku. Hal itu kulakukan semata-mata aku faham bahwa dunia ini luas, aku tidak ingin menjadi pemuda dungu yang kalah pandai dengan orang diluaran sana.

Pamanku adalah seorang sarjana muda lulusan tahun ini. Ia sedang melanjutkan studi S2 nya di universitas terdekat yang ada di kotaku. Tekad kuat untuk melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya membuat aku semakin iri dan terobsesi. Paman adalah orang  paling ideal untuk menjadi rujukan dalam hidupku. Yah, meski sudah beberapa bulan ini aku jarang menyambung lidah dan menatap wajahnya.

Jika boleh bercerita sedikit aku ingin menceritakan pengalamanku setahun silam. Aku tak pernah menyangka jika suatu pagi aku harus berbaring di atas kasur dan ditemani kertas serta bebukuan yang termakan rayap. Aku berharap musim hujan ini bersahabat denganku. Pergi ke toko buku dengan uang yang cukup. Lalu menepi di kedai untuk membuka bagian intim dari buku itu. Sesekali aku berharap ditemani gadis kasir, ia meraba pundak dan mengikat tubuhku dengan tangan gelinya. Hal itu sangat menyenangkan sekali. Kebiasaanku yang suka menengok dan memilah beberapa buku yang terpajang rapi di jalanan para penjual buku membuatku tak kuat mengangkat kaki dari jalanan itu. Namun cerita itu adalah kebiasaanku dulu. Sekarang bisa dikatakan aku tak tahu lagi tujuan hidupku. Seringnya aku meratapi nasib membuatku kehilangan arah. Semakin aku kehilangan arah semakin aku hilang jati diri. Ah aku rindu kebiasaanku yang dulu, aku tidak  lupa pada ruangan kosong  yang dihuni oleh buku lama dan rak tuaku yang sudah lama tak ku jamah.

 Selang beberapa menit aku melamun dan merenungi nasibku saat itu, rupanya  aku mendengar suara ketukan pintu dan teriakan suara lelaki yang masih belia dari luar.

 "tok,,tok,,tok, buka pintunya,"

Teriakan suara lantang itu tidak asing ditelingaku.

 "Siapa gerangan?"

Ketukan pintu itu masih berbunyi.

 "Tok,,tok,,tok, aku pamanmu, mari kita ke gudang melihat buku di rak tuamu itu!"

 "baru saja aku memikirkanmu paman, rupanya kau sudah nongol saja, ya sudah mari kita kesana."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline