Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ilfan Zulfani

Kayanya pembelajar

Tentang Tes Wawasan Kebangsaan

Diperbarui: 10 Mei 2021   09:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel Baswedan, penyidik senior KPK yang disebut-sebut termasuk dari 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan. (Kompas.com/Garry Andrew)

Tulisan singkat ini berangkat dari adanya tes wawasan kebangsaan yang membuat sebanyak 75 pegawai KPK terancam diberhentikan. Namun, komentar saya tidak terbatas pada satu kasus itu saja. Saya yakin alat tes semacam itu telah dan akan diterapkan di banyak prosedur birokrasi, apalagi jika tidak ada resistensi dari masyarakat.

Perlukah tes wawasan kebangsaan? Saya rasa boleh-boleh saja, tapi mesti memenuhi di antaranya tiga syarat yang saling terhubung. Pertama, tidak boleh bertentangan dengan kebebasan berpikir. Kedua, narasi kebangsaan yang dibawa harus bersifat umum dan prinsipil. Ketiga, alat tes harus disesuaikan dengan fungsi dan tujuan lembaga.

Tahapan seleksi janganlah mengebiri kecenderungan pikiran dan pendapat yang berkembang di masyarakat apalagi jika sampai memaksakan kebenaran versi pemerintah.

Secara tertulis, pertanyaan-pertanyaan semisal "Apa pendapat Anda terhadap LGBT?" atau "Apakah anda setuju terhadap pembubaran HTI?" memang tidak berbentuk paksaan. Akan tetapi, pertanyaan semacam itu pasti akan dilematis bagi benak individu yang mengikuti tes.

Kalau sudah begini, logika yang sangat rasional agar selamat dalam seleksi adalah mengikuti "kemauan pemerintah". Maka jawab saja pendapat yang tidak bertentangan. Lupakan reliabilitas alat ukur karena pengikut tes tidak menjawab sejujur-jujurnya.

Pun di sini jelas sekali ada potensi pemaksaan pikiran. Dengan sendirinya tes ini sesungguhnya tidak memiliki wawasan kebangsaan karena bangsa kita sepakat untuk berdemokrasi.

Sesungguhnya pertanyaan tes juga harus berada pada spektrum umum dan sesuai dengan fungsi dan tujuan lembaga. Misalnya, tes wawasan kebangsaan pada pegawai KPK dapat membahas seumpama, "Apakah semangat dan integritas Anda dalam bekerja akan berkurang ketika Anda mengejar terduga koruptor yang ternyata memiliki kesamaan suku dengan Anda?" Pertanyaan tersebut umum karena tidak menyebut hal yang spesifik seperti nama suku atau suatu kasus "politis" tertentu. Pertanyaan itu juga relevan dengan fungsi dan tujuan KPK, tidak berada pada ruang hampa.

Sekali lagi, tes wawasan kebangsaan yang ideal menurut saya hanya menyoal gagasan-gagasan penting atau tidak membahas kasus partikular. Seseorang yang setuju dengan pelegalan LGBT tidak otomatis memiliki keinginan untuk merusak nilai dan moral bangsa. Begitu juga seseorang yang menentang pembubaran HTI, tidak lantas memiliki keinginan untuk menghapuskan republik.

Tulisan ini adalah versi asli dari tulisan yang terbit di Harian Kompas, 10 Mei 2021 (Surat Pembaca)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline