Mak Inoh sudah berumur 80an tahun. Keluar masuk kamar membawa baskom berisi air. Sesekali saya melihatnya mencuci benda semacam keris, tapi bukan keris, entah apa itu.
" Oaahhh....oaaah...." terdengar bayi menangis dari dalam kamar beberapa saat setelah Mak Inoh masuk ke kamar tersebut. " Alhamdulillah...." secara kompak orang-orang di luar kamar mengucap syukur.
Saya pun merasakan haru. Namun saat pintu terbuka, kulihat darah di mana-mana. Teh Iah dipapah keluar kamar. Mak Inoh berteriak, "Panadol!" Suami Teh Iah pun dengan gesit meminumkan obat tersebut pada istrinya yang mengeluh sakit kepala. Saya bertanya-tanya dalam hati apa yang dilakukan Mak Inoh tadi. Apa yang dirasakan Teh Iah, saya pun tak bisa membayangkan!
Itu adalah pengalaman pertama saya mendengarkan seorang wanita yang melahirkan dengan bantuan paraji di Kampung Lembursawah, tempat saya mengabdi sebagai guru. Apakah Kampung Lembursawah jauh dari klinik ataupun puskesmas? Tidak.
Sekarang hanya butuh 40 menit ke puskesmas, bahkan di dusun sudah tersedia bidan desa yang standby. Ini jauh lebih terakses dibandingkan lima tahun lalu ketika saya berniat mengimunisasikan Rumay, butuh sekitar 2 jam untuk ke puskesmas terdekat. Saat itu akses jalan sulit dan berbatu, berkat pembangunan PLTA Cisokan sekarang menjadi terasa lebih dekat.
Meski akses jalan sudah mudah dan tersedia bidan desa, beberapa masyarakat masih mengandalkan paraji dan 'orang pintar'. Suatu hari saya merapikan tanaman strawberi dan beberapa saat kemudian badan saya penuh bentol.
Siswa-siswa saya mengatakan bahwa saya terkena 'hantu caruluk'. Belum sempat saya menjelaskan bahwa itu mungkin terkena ulat strawberi, mereka sudah berlari keluar rumah dan kembali lagi membawa segelas air.
"Minum Bu, ini sudah dijampe" kata mereka. Saya minum saja, ini air kasih sayang dari mereka. Tak perlu dibayangkan bagaimana cara menjampenya. Salah satu siswa membawa sabut kelapa yang berasap dan mengelilingi ruangan saya. "Saya pun diam saja sambil tersenyum dan berpikir, mereka sedang memenuhi cinta di ruangan saya." Akhirnya saya sembuh! Setelah minum kelapa muda yang juga mereka petik dari hutan. Sampai sekarang saya belum tahu bagaimana bentuk 'hantu caruluk'.
Pernah saya mengobrol dengan bidan desa. Beliau merasa kalau masyarakat belum sepenuhnya percaya dengan tenaga kesehatan. Banyak alasannya. Takut disuntik, khawatir bayar, tak punya uang untuk ongkos ngojeknya. karena bagaimana pun juga butuh sekitar 15 menit untuk ke dusun menemui bidan desa. Untuk mendatangi posyandu juga banyak yang belum sepenuhnya mau melakukan. Kader butuh ekstra ngotot memaksa warganya.
Saya dan keluarga mengakses kesehatan dengan datang ke klinik pribadi bidan di sekitaran kota kecamatan dengan rate biaya Rp 25.000,00-Rp 60.000,00 sekali periksa. Jika berkunjung ke puskesmas hanya mengeluarkan Rp. 10.000,00 untuk pasien umum.
Alhamdulillah, sekarang sudah ada dokter gigi di sini, saya pun lega, dengan Rp. 10.000,00 kita bisa ke poli gigi di puskesmas. Teringat dua tahun lalu, saya baru dua kali proses menambal gigi, ternyata dokter giginya sudah mutasi dan baru sekarang ada penggantinya.