Lihat ke Halaman Asli

ilah nuridah

mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang

Simbolisme Cimplo Dalam Tradisi Tolak Bala di Indramayu

Diperbarui: 8 September 2024   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Indonesia memiliki berbagai tradisi dan kearifan lokal yang beragam, hasil dari sejarah panjang Nusantara, dimana terjadi percampuran budaya antara budaya lokal dan budaya asing yang masuk, baik dari Barat maupun dari Timur. Percampuran ini mrmicu proses penyesuaian dan pembaruan yang secara perlahan menggabungkan elemen-elemen asli masyarakat Nusantara. Akibatnya, terjadi akulturasi budya yang memengaruhi kepercayaan, keniasaan, kegiatan sosial, serta wawasan masyarakat. salah satunya adalah adanya tradisi yang di laukukan pasa bulan safar, bulan kedua kalender Hijriyah

salah satu tradisi yang di lakukan masyrakar Indramayu pada bulan safar adalah "Tolak Bala". "Tolak" berarti menolak, dan "Bala" berarti musibah atau kesialan.tradisi ini di lakukan setahun sekali khusunya pada bulan safar, karena masyarakat percaya bahwa bulan tersebut sering terjadi musibah dan penyakit. kepercayaan ini telah ada sejak lama dan hingga kini masih diyakini kebenarannya. Oleh karena itu, masyarakat Indramayu serta sekitarnya seperti Cirebon dan Majalengka menjalankan tradisi untuk mencegah datangnya kesialan atau musibah dengan membuat "Cimplo". 

Asal- usul cimplo dalam masyrakat Indramayu belum banyak di dokumentasikan secara resmi. Namun, berdasarkan tradisi lisan dan sejarah lokal, cimplo diyakini muncul sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat agraris di wilayah pantura (pantai utara) jawa. sebagai makanan yang sering di gunakandalam tradisi Tolak Bala, cimplo kemungkinan besar berkembang dari kebutuhan masyarakatuntuk melakukan ritual sedekah atau syukuran, terutama di bulan safar, yang dianggap sebagai bulan penuh kesialan oleh masyarakat setempat. 

jika di lihat dari asal-usul cimplo yang ada di Cirebon, Asal-usul tradisi pembuatan cimplo di Cirebon erat kaitannya dengan Syaikh Maulana Al-Maghribi, seorang ulama besar asal Maroko yang dikenal sebagai anggota Walisongo . menurut cerita, ketika beliau datang ke Cirebon, Syaikh Maulana belum terbiasa dengan makanan lokal. Oleh karena itu, ia menyesuaikan makanan pokok dari Markok, yaitu khobz, dengan menggunakan bahan-bahan setempat seperti tepung beras dan terigu. dari adaptasi inilah tercipta cimplo, yang kemudian di sajikan dengan gula merah dan kelapa parut. menngingat kedekatan Geografis antara Indramayu danCirebontidak menutup kemungkinan bahwa tradisi ini turut memengaruhi masyarakat Indramayu

Cimplo di buat dari bahan-bahan sederhana ini menunjukkan keterikatan erat masyarakat dengan alam sekitarnya dan ketersediaan sumber daya lokal. pembuatan cimplo dalam tradisi tolak bala mungkin juga merupakan adaptasi dari tradisi syukuran agraris, dimana masyarakat mengadakan ritual untuk memohon keselamatan dan keberkahan bagi panen serta kesejahteraan umum. Seiring waktu, cimplo menjadi simbol perlindungan dari marabahaya dan musibah, serta menjadi bagian intergral dari budaya kuliner dan keagamaan masyarakat Indramayu. Tradisi ini di perkuat dengan kepercayaan bahwa sedekah (melalui pembagian cimplo) dapat menjauhkan dari bencana. 

Cimplo merupakan salah satu tradisi yang memiliki makna mendalam bagi masyarakat Indramayu, terutama terkait dengan harapan dair marabahaya serta sebagai ungkapam rasa syukur. Tradisi ini juga mencerminkan nilai solidaritas dan kebersamaan antar warga. Ketika ada yang membuat cimplo, tetangga-tetangga biasanya turut berpartisipasi dengan bergiliran membantu dalam proses pembuatannya. Mereka bekerjasama, saling bahu-membahu dalam semangat gotong-royong yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai "Majengan". Majengan ini adalah kebiasaan dimana warga, terutama para perempuan, datang beramai-ramai untuk membantu mempersiapkan bebrbagai acara seperti hajatan, penikahan, syukuran dan kegiatan serupa lainnya. 

Proses pembuatan cimplo sebenarnya dianggap cukup sederhana karena hanya membutuhkan bahan-bahan yang mudah di temukan, seperti tape beras, tape singkong, ragi roti dan ari kelapa. Setelah bahan-bahan ini di campur  dan di olah, cimplo kemudian di sajikan dengan cocolan gula merah yang telah di cairkan dan di campur dengan kelapa parut. 

Meskipun sekilas cimplo mirip dengan kue Apem, ada beberapa perbedaan yang membedakan kedua jenis kue tradisional ini. Salah satu perbedaan utama terletak pada cara penyajiannya. kue apem biasanya di sajikan dan di makan tanpa tambahan apapun. Sementara itu, cimplo memiliki rasa yang cenderung hambar, sehingga untuk menambah cita rasa, cimplo biasanya di nikmati dengan cocolan gula merah  yang di campur dengan kelapa parut. Kombinasi gula merah dan kelapa parut memberikan rasa manis dan gurih, melengkapi rasa cimplo yang netral, sehingga lebih enak untuk di santap . Tradisi penyajian ini menjadikan cimplo memiliki karakteristik sendiri dibandingkan dengan kue-kue tradisional laninnya, terutama dalam hal dan cara menikmatinya. 

Setelah cimplo matang matang dan di bungkus rapi, si pembuat tidak hanya menyimpan hasilnya untuk diri sendiri, melainkan juga membagikan cimpo tersebut kepada tetangga sekitar. pembagian ini menjadi bagian penting dari tradisi tolak bala, yang di dasari oleh kepercayaan masyarakat bahwa bersedekah dapat menjaukan mereka dari segala bentuk marabahaya, baik yang sedang terjadi maupun yang akan datang di masa mendatang. Tindakan ini menegaskan bahwa pembuatan cimplo tidak hanya sekedar ritual tolak bala atau ungkapan rasa syukur semata, melainkan menjadi bentuk nyata dari rasa kebersamaan dan persaudaraan antar warga. pembagian cimplo setelah selesai di buat adalah simbol dari kepedulian dan kebersamaan yang terjalin erat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indramayu. 

Tradisi pembuatan cimplo di Indramayu di lestarikan dari generasi ke generasi. Biasanya, orang tua mengajak anak perempuan mereka untuk turutbserta dalam proses pebuatan cimplo serta pembagian kepada tetangga. keterlibatan generasi muda dalam kegiatan ini tidak hanya membantu melestarikan tradisi, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kebersamaan gotong royong kepada mereka. praktik ini memastikkan bahwa cimplo tetap hidup dan terus berlangsung setiap bulan safar, menjaga keberadaannya di masyarakat Indramayu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline