Lihat ke Halaman Asli

Apa yang Terjadi di Balik Sepinya Pasar Kliwon?

Diperbarui: 15 Oktober 2024   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Pasar Kliwon, satu dari banyak pasar tradisional di Kudus yang kian meredup. Suasana pasar yang identik dengan keramaian kini tergantikan dengan sunyi yang mendalam. Hanya terlihat beberapa pedagang yang masih membuka tokonya dan menunggu pembeli yang datang dengan hanya melihat layar ponsel mereka. Deretan patung yang dipakaikan beragam model baju tak lantas memikat pembeli untuk datang atau sekadar melihat-lihat. Beberapa diantaranya bahkan tutup dan dipasangi papan bertuliskan "dikontrakan." 

Minat konsumen akan belanja di pasar tradisional nampaknya mulai memudar. Pembeli yang rela berdesakan diantara orang-orang untuk saling berebut barang yang diinginkan kini hanya tinggal kenangan. Mereka lebih tertarik memandangi layar handphone dengan beragam promo menarik daripada harus berjubel di kerumunan banyak orang. Para pemilik kios pun hanya bisa meratapi nasib dengan perkembangan teknologi yang merubah segala lini kehidupan.  

Perkembangan ini sudah menggeser pola belanja masyarakat. Para pelaku ekonomi yang telah bertahun-tahun memasarkan produknya secara offline, tampaknya sudah tidak relevan dengan gaya hidup dan pola perilaku masyarakat yang serba digital. Hal ini memicu sepinya pasar tradisonal saat ini. Digitalisasi yang digadang-gadang sebagai jalan keluar dalam menyikapi perubahan zaman, lambat laun akan menjadi bumerang bagi para pelaku ekonomi yang masih mengandalkan pemasaran offline tanpa mengikuti perubahan zaman.  

Minggu lalu, saya berkesempatan mengunjungi kembali pasar kliwon. Pasar yang dulu menjadi pusat grosir dan ecer dari berbagai daerah itu telah sepi, biasanya di jalan utama terdapat banyak sekali mobil borong yang siap mengangkut grosiran. Tetapi kali ini berbeda, hanya terlihat beberapa mobil yang keluar masuk melalui pintu utama. Di dalam pasar juga tampak sepi. Pada lantai 1 blok B, tempat saya berdiri hanya dikelilingi kios dan penjual yang tengah menunggu pembeli hanya dengan melihat handphone atau bahkan pulas tertidur. Minim orang yang melakukan transaksi. 

Perubahan Pola Belanja

Beberapa faktor yang menyebabkan pasar tradisional mulai ditinggalkan pembeli adalah perubahan pola belanja masyarakat yang bergeser ke pola pembelian yang lebih kontraktual (melalui pihak ketiga). Berbeda seperti yang dikemukakan Clifford Geertz, beliau menjelaskan bahwa pertemuan pedagang dan pembeli di pasar adalah momen kultural yang memungkinkan kedua pihak untuk saling berinteraksi sosial dengan menyenangkan. Masyarakat lebih memilih berbelanja dengan pola kontraktual yang sudah pasti. Mereka cenderung takut melakukan kegiatan tawar menawar secara langsung karena berpotensi merugikan, sebab bukan tidak mungkin mereka menjadi korban kelihaian pedagang dengan mematok harga diatas kisaran normal. Hal ini diungkapkan langsung oleh Awalia sebagai perwakilan gen z yang jarang belanja di pasar tradisional. Ia mengungkapkan, lebih sering belanja online daripada harus datang ke offline store atau pasar tradisional. Dia merasa bahwa dengan belanja di marketplace lebih efisien dan sudah pasti harga pas tanpa harus tawar menawar kembali. "Saya jarang banget ke pasar, karena kalau di pasar kita harus tawar menawar lagi ya, kalau di marketplace kan tidak usah tawar lagi karena sudah harga pas, dan kalau ada promo juga sudah jelas berapa persen, selain itu juga efesien karena kita kan sibuk kerja ya, jadi tidak sempat ke pasar tradisional." begitu ungkapnya. 

Kalah saing dengan produk impor

Banyaknya barang impor yang masuk ke Indonesia dengan harga yang murah menjadikan produk lokal yang dijual di pasar tradisional menjadi kalah saing. Secara tidak langsung, para UMKM lebih tertarik memasarkan produk luar dengan harga yang lebih murah melalui berbagai aplikasi. Banyak juga produsen pabrik yang tidak menawarkan produknya melalui sistem grosir. Mereka lebih banyak menawarkan produknya melalui media sosial seperti live tiktok, instagram dan aplikasi marketplace. Hal itu memotong rantai pemasaran di tengah jalan karena produsen dapat secara langsung terhubung dengan konsumen. Pembeli juga merasakan lebih diuntungkan tanpa harus belanja di pasar dengan harga yang sudah pasti akan dinaikkan kembali.

Maka dari itu, pasar harus berkompetisi dengan dunia maya yang lebih menarik, atraktif dan sesuai dengan perkembangan Masyarakat. Sekarang, pasar tradisional bukan hal yang mengasikkan lagi, alih-alih menyenangkan, konsumen terkadang malah berpikir kembali etika ingin pergi ke pasar tradisional karena harus membayar retribusi parkir, transportasi dan lain-lain.

Meskipun para pedagang tradisional telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya dengan mengikuti trend marketplace. Akan tetapi realitas pasar berbeda dengan apa yang diharapkan. Kala itu, saya berkesempatan berbincang dengan salah satu pedagang baju yang sedang menunggu pembeli dengan hanya bermain handphone saja. Menurutnya, sepinya pasar disebabkan oleh konsumen yang beralih ke aplikasi online. "Sekarang pasar tidak seperti dulu. Semenjak ada aplikasi-aplikasi itu jadi pedagang sini merasa sepi. Ya meskipun para pedagang sudah mencoba live-live tetap saja kalah sama artis atau orang-orang yang sudah bisa." Begitu tuturnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline