Lihat ke Halaman Asli

Ikun Esode

Pendidik PAUD

Wah... Kang Kemat Dadi Guru

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sore itu kang Kemat merasa tidak enak dengan mertuanya lagi karena baru saja disinggung soal makan dan tempat tinggal. Meski belum genap satu tahun dia satu atap dengan mertuanya tapi sore itu benar-benar dia merasa sangat tidak enak. Soal memiliki tempat tinggal sendiri tentu pasti ada, namun sebagai seorang buruh tani yang tidak pasti hitungan uangnya— hampir mustahil.

Kang Kemat berpikir lebih baik jalan-jalan di sekitar sawah, dari pada di rumah yang tidak pasti ada jalan keluarnya. Setidaknya jalan-jalan ke sawah banyak oksigen masuk ke otak. Atau ada keberuntungan di sana, seperti disuruh angkat hasil panen. Atau tiba-tiba dompet berisi uang banyak tergeletak.

“Ah! Pikiranku malah jadi kacau.” Dia mencoba menyadarkan diri.

Tak membutuhkan waktu lama berjalan 200 meter sampai ke sawah. Kaki Kang Kemat sudah terbiasa berjalan cepat. Mungkin pengaruh keturunan. Dari bapak, ibu, kakak dan adik langkah kakinya cepat dan lebar-lebar. Bapaknya Kang Kemat pernah cerita, kakeknya pun begitu.

Dari kejauhan nampak seseorang menaruh keranjang di kepalanya. Bisa dipastikan orang itu sedang membawa salak. Sebab, dari warna pakain dan cara berjalan yang agak pincang, dia adalah kang Rokan. Sebab ketiga, sejak siang tadi kang Rokan-lah yang lewat depan rumah kang Kemat—maksudnya, mertuanya. Sebab keempat, kang Rokan juga menjawab akan panen salak setelah kang Kemat bertanya, “Mau ke mana, kang?” siang tadi.

Bentuk tubuh kang Rokan semakin jelas. Benarlah analisa kang Kemat. Soal analisa kang Kemat, memang sedikitnya memiliki bakat. Meski masih terkesan murahan tapi bisa menjadi luar biasa kalau sering diasah. Namun, setelah kang Rokan berada tiga langkah dari kang Kemat, bakat yang tidak baik dari sisi cara pandang sekarang sangat tidak baik. Bakat pengmisnya keluar dengan fasihnya. Namun, pasti kita punya perspektif lain.

“Waaah...Banyak sekali salaknya, kang? Aku lihat sejak siang tadi, bolak-balik keranjangnya berisi penuh.”

“Iya, kang Kemat. Paling tidak kan ya bisa buat beli beras dan lainnya. Dan untungnya itu, Kang—harganya sedang membaik.”

“Sebagai tanda syukur pasti perlu dibuktikan secara otentik, kang.”

“Apa itu otentik?”

“Ya...Pokonya secara sah atau dapat dipercaya gitulah, kang.”

“Halah! Kang Kemat ini sok seperti orang pitar saja. Pada intinya mau minta salak kan?”

“Ya, setidaknya untuk membedakan dengan pengemis di jalan-jalan atau yang mampir ke rumah lah, kang.”

“Cepat ambil, berat! Dan ingat, tidak usah banyak-banyak.”

“Beres! Sambil istirahatlah, kang. Dan saya makan tiga buah salak saja sudah muleh perutnya. Tapi, kan di rumah tidak hanya saya saja, Kang.”

Kang Kemat tertawa.

“Enak saja! Sedikit saja.”

Setelah mengambil empat buah salak kang Kemat berterima kasih. Kang Rokan pun berlalu. Lalu, kang Kemat mencoba seperti dalam film-film, duduk di pinggir sawah memetik rumput-rumput kecil sambil membayangkan sesuatu. Menggoda serangga di atas dedaunan.

“Sedang apa, Pak?”

Seorang berjilbab warna hitam dan gamis warna hijau tersenyum dengan kang Kemat. Tidak membutuhkan waktu lama mengenali wajah ayu itu. Dialah wanita dengan jabatan kepala sekolah di PAUD—tempat anaknya sekolah.

“Eh...Bu Guru. Anu, saya sedang jalan-jalan. Dari pada di rumah, sumpek, tidak ada kerjaan, bu.”

“Jalan-jalan? Hla, kan bapak duduk-duduk saja.”

“Eh, iya. Ya gitulah bu guru.”

Bersambung...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline