Tidak ada hal yang menantang saat naik kereta api selain di Kota Cirebon.
Itulah sepenggal kalimat yang terucap dari seorang rekan railfans yang gemar bepergian naik kereta api. Mulanya, saya tak begitu paham tentang maksud dari kalimatnya. Saya mengira, saat naik kereta api ke kota ini akan sama dengan kota lainnya.
Namun, akhirnya saya membenarkan perkataan rekan saya tersebut setelah jalan-jalan ke kota udang ini pada 2018. Kala itu, saya mencoba naik KA Majapahit dari Malang yang tiketnya sekitar 200 ribu rupiah. Tidak ada ekspektasi tinggi saat saya memutuskan jalan-jalan ke sana. Hanya ingin melihat persimpangan budaya Jawa dan Sunda yang begitu kental dengan banyak keraton yang masih terawat hingga kini.
Adu Waktu Beli Sarapan di Stasiun Cirebon Prujakan
KA Majapahit yang mengantarkan saya berangkat dengan tepat waktu. Melintasi beberapa kota yang menjadi persinggahannya, saya cukup menikmati perjalanan bersama si ular besi. Walau saat itu rangkaian kereta masih menggunakan kursi tegak khas rangkaian Kemenhub 2-2, tetapi saya beruntung. Tidak banyak penumpang yang naik sehingga saya bisa menyelonjorkan kaki.
Tak hanya itu, prami yang bertugas juga menjajakan sewa bantal seharga 6.000 rupiah. Tentu, saya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan bantal tersebut. Maklum, namanya juga kelas ekonomi, jadi sebagai penumpang saya tahu diri harus membayar lebih untuk kenyamanan yang ingin saya dapat.
Sekitar sebelas jam kemudian, KA Majapahit yang membawa saya sampai di Stasiun Cirebon Prujakan. Hari masih cukup pagi karena matahari belum naik sepenggalah. Dengan mata yang masih berat untuk terbuka, saya pun mulai kebingungan mencari sarapan pagi. Bukan apa-apa, saya memiliki penyakit GERD sehingga perut harus terisi tepat waktu.