Baru-baru ini, dunia Twitter dihebohkan sebuah opini yang cukup kontroversial.
Bukan mengenai SARA atau seks yang kerap memicu debat, melainkan tentang transaksi elektronik. Ada sebuah cuitan yang mengatakan bahwa sebaiknya Kartu Uang Elektronik (KUE) dilenyapkan atau dihilangkan saja dari Indonesia.
Alasannya adalah ribet alias susah untuk digunakan. Jika saldo kurang, maka akan kesulitan saat melakukan transaksi, terutama untuk pembayaran tol. Jika mengisi dengan saldo banyak, maka akan susah untuk melakukan pemblokiran di bank saat hilang lantaran KUE tidak terdapat akun kepemilikan seperti kartu debit dan kartu kredit.
Apabila akan melakukan top up, terutama di gerai selain ATM bank pencetak KUE, maka akan terkena biaya administrasi. Pemilik akun yang beropini tersebut juga ingin agar transaksi elektronik di Indonesia, terutama pembayaran tol dan sejenisnya menggunakan contactless alias tanpa sentuh. Semisal, menggunakan QRIS, HP NFC, atau kartu kredit contactless.
Sontak, pendapat ini disanggah oleh banyak pihak terutama mereka yang gemar menggunakan KUE, baik pemilik mobil atau pengguna transportasi umum. Meski harus ribet top up, KUE masih dianggap sebagai moda pembayaran yang paling mudah digunakan, murah, dan aman jika hilang lantaran tidak terdapat data pribadi seperti kartu debit dan kredit.
KUE juga mudah didapat di mana saja tidak harus membeli di bank tempat peluncuran KUE tersebut. Masyarakat bisa membeli KUE di berbagai minimarket, gerai, dan online shop.
Top up pun bisa dilakukan dengan dua cara, yakni melalui merchant dan membayar dengan tunai atau melalui ATM. Top up dengan uang tunai masih dianggap cara yang paling mudah terutama bagi mereka yang tidak begitu mahir teknologi, seperti para lansia.
Sebelum berbayar dan aturan gratis bagi lansia menggunakan kode QR lansia pada layanan Teman Bus, saya kerap bertemu para lansia yang membawa KUE. Mereka sudah tahu bagaimana cara mengetap kartu, menunggu tanda notifikasi berhasil, hingga cara menyimpan kartu dengan benar.