Saat masih mengajar dulu, saya boleh disebut sebagai "tangan kanan" Bapak Kepala Sekolah.
Bahkan, ada beberapa orang yang menyebut saya terlalu dekat dengan beliau dan turut mempengaruhi keputusan yang beliau ambil. Walau saya menolak adagium ini, nyatanya pada praktiknya memanglah demikian.
Banyak kebijakan-kebijakan sekolah yang keluar dari ide saya saat diminta beliau. Terutama, beberapa keputusan mendasar yang sangat berpengaruh bagi warga sekolah.
Sebetulnya, saya tidak terlalu nyaman dengan kondisi demikian. Alasannya, tak lain peran saya yang hanya sebagai GTT. Menjadi GTT, apa sih yang bisa dilakukan demi mengejar jabatan? Toh tidak ada jenjang jabatan bagi GTT.
Kalau ingin naik pangkat ya mau tidak mau harus menjadi PNS. Ikut tes CPNS dan wajib lolos serta tentunya memulai dari awal. Jadi, capaian kerja selama menjadi GTT terasa sia-sia walau nantinya kemungkinan juga dimasukkan saat menjadi PNS seperti yang dialami oleh rekan PNS dari honorer K2.
Intinya demikian. Saya sepakat dengan salah satu rekan guru PNS di sekolah lain yang bercerita banyak kala ada acara gugus. Beliau mengatakan bahwa serajin apa pun, sebagus apa pun, dan semenarik apa pun kamu, selama masih menjadi GTT ya kamu tidak akan memperoleh jabatan bagus.
Paling-paling hanya "dekat" dengan Kepala Sekolah dan diamanati berbagai pekerjaan. Masalah gaji mungkin saja sedikit lebih tinggi daripada rekan GTT lain. Namun, berharap memiliki jabatan tinggi dan gaji yang fantastis? Hmmmm, jangan harap. Jadilah PNS dulu.
Saya mengamini hal ini. Dari sisi gaji, memang saya tidak terlalu mempermasalahkan nominalnya yang bagi banyak orang minim. Saya toh masih bisa menabung untuk jalan-jalan keluar kota di akhir semester.
Bahkan, masih bisa digunakan untuk menginap di hotel. Saya malah merasa gaji saya terlalu tinggi untuk ukuran GTT. Sebelum resign, saya malah mendapat gaji sebesar 1.000.000 rupiah per bulan.
Jumlah ini paling tinggi dibandingkan rekan GTT lain yang mendapatkan sekitar 700.000 ribu hingga 800.000 ribu saja. Juga jauh lebih tinggi dibandingkan GTT di sekolah lain yang hanya menerima 500.000 rupiah. Untunglah saat ini GTT di kota saya sudah jauh lebih terjamin lantaran gajinya disesuaikan dengan UMK.
Gaji yang minim dan jenjang karir yang tidak menentu membuat persepsi bahwa rasanya sia-sia saja bekerja dengan all out saat menjadi GTT. Toh buat apa dan tidak ada penilaian seperti SKP pada PNS.