Kalau enggak mau belajar, ya mati aja...
Ungkapan itu terkesan sadis tapi benar adanya. Sebagai manusia, kita diciptakan untuk belajar dan belajar. Bahkan, ada ungkapan yang menyatakan bahwa kewajiban menuntut ilmu baru berakhir saat napas tak lagi ada di badan.
Namun, ada saja rintangan untuk menuntut ilmu di usai yang tak lagi muda. Saya sendiri pun merasakannya saat tak sesemangat dulu. Entah ketahanan fisik yang mulai menurun dan pekerjaan yang tiada henti, diri ini mulai malas belajar. Kalau pemikiran untuk tidak bersemangat ini masih bersemayam, rasanya saya kok menyia-nyiakan hidup ya.
Saya pun akhirnya mencari cara bagaimana bisa belajar meski di usia yang tak lagi muda. Lalu, saya memutuskan bahwa salah satu cara saya untuk tetap bisa belajar adalah dengan menerbitkan buku. Sebuah buku solo saya tulis untuk kemudian saya sunting sedemikian rupa hingga mendapatkan hasil naskah yang maksimal.
Mengapa menerbitkan buku bisa menjadi cara untuk terus belajar?
Alasannya, dengan menulis dan menerbitkan buku, ada banyak persoalan baru yang harus saya pelajari. Ada banyak ilmu dan teknik dalam menulis yang saya kembangkan. Dan pastinya, saya bisa belajar lebih banyak mengenai dunia penyuntingan yang jika dilihat cukup mudah tetapi sulit dalam praktiknya.
Menyunting naskah sekaligus belajar. Itulah prinsip yang saya pegang. Dengan menyunting naskah sendiri alias swasunting, saya mendapatkan banyak pelajaran berharga terkait naskah yang saya tulis dan beberapa ilmu tata bahasa Indonesia. Walau sudah tidak sekolah lagi, rasanya saya harus terus berusaha untuk memperbaiki kualitas tulisan saya.
Di usia yang tak lagi muda, saya tak malu untuk membaca kembali buku-buku yang menunjang kegiatan penyuntingan ini. Beberapa buku yang saya lahap kembali adalah buku mengenai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), Tesaurus Bahasa Indonesia, berbagai karya sastra, dan tentunya buku lain yang relevan.
Saya bahkan tidak segan untuk membaca kembali buku teks pelajaran bahasa Indonesia tingkat SMP dan SMA. Perlu diketahui, materi pelajaran bahasa Indonesia untuk tingkat SMP dan SMA pada kurikulum terbaru cukup berbobot.
Ada banyak pelajaran berharga mengenai kegiatan menulis terutama bagaimana cara membuat berbagai macam teks seperti eksplanasi, deskripsi, dan narasi. Bahkan, di tingkatan tertentu, ada elaborasi lebih lanjut untuk menguraikan sebuah teks dengan pemaparan yang cukup komperhensif.
Saya mendalami pelajaran ini dari buku teks pelajaran. Selain untuk mengembangkan menulis, tentunya sekaligus belajar materi bagi siswa saya. Kalau gurunyan tidak belajar, bagaimana bisa muridnya juga belajar?