Keinginan saya mengunjungi Demak sudah membuncah. Maklum, ketika ikut tur rombongan ziarah wali, paling banter saya hanya ikut rombongan wali limo. Makam terjauh yang saya tuju ya Makam Sunan Bonang di Tuban. Belum ada makam wali songo di Jawa Tengah yang sudah saya ziarahi.
Saya ingin sesekali merasakan bagaimana sih rasanya berziarah ke makam wali seorang diri dan tak ikut rombongan. Kok kelihatannya bisa lebih bebas tanpa banyak menghabiskan waktu untuk berbelanja. Makanya, saat mengunjungi Semarang, saya langsung mencoba meneruskan perjalanan ke kota para wali ini.
Dari Semarang, perjalanan saya mulai dari Genuk. Selepas Bus Trans Semarang tiba di Halte Genuk, saya segera menyeberang ke jalan poros Semarang-Demak untuk naik bus kecil. Ini seperti bus-bus yang saya naiki menuju Tempel Sleman. Saking kecilnya, beberapa penumpang harus menunduk dan berimpitan agar bisa terbawa angkutan ini dengan nyaman. Tidak ada AC pada bus dengan ongkos 5.000 rupiah ini.
Perjalanan selama kurang lebih 35 menit itu berakhir di pinggir jalan. Saya memang sengaja untuk turun di dekat terminal lantaran dari Google map yang saya bawa, hanya perlu sekitar 1 km untuk sampai di Masjid Agung Demak. Saya berjalan perlahan sambil mengipasi kepala yang mulai berkeringat. Di sepanjang perjalanan, beberapa kalimat asmaul husna yang terpajang menjadi teman saya.
Alhamdulillah, saya masih diingatkan untuk tetap memaknai nama-nama baik Allah tersebut. Pun, saya semakin yakin jika Demak adalah Kota Wali yang memiliki keistimewaan tersendiri. Langkah kaki saya semakin ringan untuk terus menjelajah. Saya selalu suka dengan kota yang jalanannya cukup sepi. Alasannya, saya bisa menyeberang tanpa takut. Dan Demak adalah salah satu kota tersebut.
Sambil berjalan, sesekali saya membuka peta di Google map. Saya pastikan kembali bahwa saya melangkah di jalan yang benar. Ternyata, jalan saya masih benar dan belum menyimpang. Perjalanan saya pun kembali saya lanjutkan.
Tak jauh dari Simpang Enam Demak, saya melihat ada sebuah bangunan kayu bercat kuning dan hijau yang cukup menarik perhatian. Dari papan besar yang ada di depan bangunan itu, tertulis plang Dinas Pariwisata. Namun, di sebelahnya, ada nama museum yang sangat menarik minat saya. Jadi, ini kantor dinas apa museum?
Saya berhenti sejenak dan menimbang apakah akan mampir. Kalau dibilang museum, rasanya kok tidak pas ya. Saya tidak menemukan pintu masuk museum layaknya museum lain yang pernah saya kunjungi. Atau paling tidak, ada petugas jaga yang siap sedia. Pintu utama saya lihat ya seperti para perkatoran pada umumnya. Namun, sebuah beduk besar tiba-tiba membuat saya ragu kembali. Ini beduk buat apa? Jadi, ini benar museum kan?
Akhirnya, daripada saya penasaran, saya pun memutuskan untuk masuk saja ke ruangan tempat beduk tadi diletakkan. Saya intip sekilas dan ternyata ada banyak koleksi di dalamnya. Wah, iya benar. Ini museum. Lalu, dari mana masuknya?
Saya pun masuk ke pintu utama yang disambut seorang bapak. Beliau mengarahkan saya untuk masuk saja ke belakang jika akan berkunjung ke museum. Menuruti petunjuknya, saya pun masuk ke halaman belakang. Di sana, banyak pegawai yangsedang berlalu-lalang. Aduh, kok jadi kikuk ya.
Saya kembali ditegur oleh seorang Bapak paruh baya yang menanyakan maksud kedatangan saya. Dengan mantap, saya pun menjawab akan melihat koleksi museum. Beliau pun mengarahkan saya ke Mbak-Mbak pegawai Dispar yang ada di sebuah ruangan. Setelah permisi dan berbasa-basi, saya pun diminta untuk mengisi buku tamu.