Lihat ke Halaman Asli

Ikrom Zain

TERVERIFIKASI

Content writer - Teacher

Manajemen Apik nan Sederhana di Wisata Puncak Bukit Agaran Purwokerto

Diperbarui: 1 November 2019   08:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukit Agaran Purwokerto. - Dokumen Pribadi

Saya tidak yakin jika malam itu cuaca akan kembali cerah.

Maklum saja, sejak siang hari, hujan turun deras di Kota Purwokerto hingga senja menjelang. Dimas --rekan saya yang menemani perjalanan di kota ini menghubungi saya kala saya tidur di penginapan. Ia baru saja turun dari sebuah bukit yang sejatinya akan saya kunjungi. Bukit Agaran.

Tak ada satupun air yang menetes dari langit.

Begitu ujaran yang saya dapat darinya. Saya sempat ragu namun kala ia memberikan potret dirinya yang masih mengenakan baju yang sama saat kami jalan pada pagi hari, barulah saya optimis. Saya pun memutuskan untuk mengiyakan ajakannya dan akan berangkat selepas salat Magrib dikerjakan.

Maghrib pun tiba. Dimas menjemput saya di penginapan tepat beberapa saat setelah Mahgrib. Dari arah Buaran, Purwokerto Utara, saya diajak dahulu untuk makan di sekitar kampus Unsoed. Lepas kenyang, barulah kami memulai perjalanan ke arah Kedung Banteng, yang masih berada di sekitar kaki Gunung Slamet. Bedanya, daerah ini berada di sisi sebelah barat sedangkan wisata Baturraden berada di sisi timurnya.

Hujan masih turun dengan cukup rintik. Dimas yang enggan mengenakan jas hujan membuat saya geleng-geleng kepala. Rupanya, ia memang ahli memprediksi cuaca. Baru beberapa menit kami berjalan, saat berada di sebuah pertigaan jalan antara Kedung Banteng dan Baturraden, hujan pun reda. Bahkan, tak tampak bekas genangan air di jalan aspal yang kami lalui.

Otomatis, saya pun memintanya menepi sebentar untuk melepas jas hujan yang saya kenakan. Perjalanan kami lanjutkan dengan medan jalan yang mulai menanjak. Berliku, dan sesekali Dimas harus mengklakson motornya dengan keras dikarenakan kondisi jalan yang gelap. Sepintas, tak terlihat jelas mobil atau motor yang baru turun dari arah puncak bukit yang akan kami datangi.

Selepas kami berkendara sekitar 20 menit, barulah ada beberapa rumah penduduk yang mulai terlihat. Saya menghela nafas lega karena saat berada di jalan sepi sebelumnya, Dimas beralasan menggeber motornya dengan kencang. Ia takut dengan adanya begal yang kadang mengintai pengendara di sana.

Perkampungan penduduk kembali berganti dengan hutan lebat. Jalan pun semakin menanjak dan mulai rusak. Walau demikian, rupanya kami sudah cukup dekat. Dimas amat hati-hati dalam mengendarai motornya lantaran bebatuan yang cukup besar menjadi alas motor kami sepanjang jalan itu. Hingga, kami pun sampai di sebuah tanah lapang yang cukup luas.

Dimas pun memarikirkan motornya dan meminta saya membayar tiket parkir sebesar 2.000 rupiah. Sebenarnya, kami harus membayar tiket masuk seharga 5.000 rupiah per orang. Namun, karena Dimas kenal dengan petugas tiket di sini, maka kami tidak perlu membayar.

Uniknya, saat kami datang, rupanya hujan baru saja turun. Padahal, dari tanah lapang ini, kami masih harus melakukan pendakian ke puncak bukit. Makanya, saya menyiapkan perbekalan berupa air mineral yang saya beli di warung di sekitar tanah lapang tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline