Saya itu kadang bingung campur miris dan mengelus dada ketika membaca postingan beberapa grup komunitas warga lokal di Facebook beberapa waktu terakhir. Jika selama ini saya menitikberatkan pada informasi arus lalu lintas dan mencari info kebutuhan mendesak yang sulit saya dapat, kini grup tersebut mengalami pergeseran. Lebih banyak berisi curhatan mengenai berbagai hal.
Mulai pelayanan masyarakat, kasus kriminalitas, hingga kasus rumah tangga yang sejatinya tidak perlu untuk dijadikan konsumsi publik. Dari pagi, siang, hingga malam hari, aneka keluh kesah permasalahan hidup yang menimpa TS -- sang pengunggah postingan wara-wiri di lini masa saya.
Kalau postingan yang muncul seputar orang hilang, donasi kepada warga kurang mampu, info kecelakaan, ataupun kondisi jalan yang sedang ditutup, saya masih akan mengikutinya. Namun, jika unggahan yang tersaji berupa cekcok warisan, penipuan yang sebenarnya bisa diantisipasi, hingga beberapa kasus lain yang seakan membuat pembacanya bergumam, "sepenting apa sih harus diunggah?" -- saya dengan segera mengacuhkannya.
Tentu kita tahu bahwa ada layanan yang disebut 911. Layanan ini merupakan layanan terintegrasi yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan panggilan darurat. Dalam hal yang sangat gawat, dengan satu pintu, masyarakat bisa meminta bantuan berbagai layanan masyarakat seperti damkar, polisi, ambulans, hingga beberapa layanan lain semisal gangguan listrik.
Intinya, dalam kondisi gawat darurat, nomor semacam itulah yang menjadi prioritas. Sayangnya, nomor darurat ini tidak terintegrasi di Indonesia. Antara satu instansi dan instasi lainnya memiliki nomor yang berbeda. Ada halo polisi, halo PLN, halo damkar, dan lain sebagainya. Menghafalkan nomor-nomor penting tersebut tidak mudah. Dan, tak semua warga memilikinya.
Masalah menjadi runyam ketika ada suau hal gawat yang terjadi. Walau penetrasi telepon pintar sudah masuk ke segenap lapisan masyarakat, tetapi kemauan untuk menggunakannya sesuai peruntukan masihlah belum nampak. Fitur "OK Google" yang seharusnya bisa mereka gunakan untuk mencari nomor darurat ketika ada suatu hal gawat berubah menjadi kegiatan lain. Apalagi, kalau bukan mengunggah postingan di FP lokal.
Keengganan masyarakat semacam ini bisa jadi merupakan bentuk pengulangan dari memori otak yang sudah terpatri dalam kehidupan sehari-hari. Tiap jam atau bahkan tiap menit, mereka selalu mengakses Facebook. Dan saat itu pula mereka membaca postingan dari warga lain yang sedang mengalami kejadian penting. Makanya, ketika mereka sendiri mengalami hal yang gawat, secara otomatis mereka mengunggahnya di FP Komunitas tersebut.
Uniknya, lama-kelamaan, jumlah unggahan di postingan tersebut sangat banyak. Hampir semua Grup FP memerlukan moderasi dari seorang admin agar postingan tersebut bisa terunggah. Dengan terbatasnya tenaga admin di grup tersebut, maka dengan sendirinya banyak postingan yang tidak bisa terunggah.
Kalau sudah begini, aneka komplain kepada admin pun bermunculan. Kadang, komplain itu berujung kepada sumpah serapah karena postingannya yang dianggap penting terlewat begitu saja. Kalau sudah seperti ini, FP komunitas lokal tak ubahnya pusat layanan pengaduan.
Padahal, dalam pendiriannya, hampir semua FP semacam ini hanyalah sebagai wadah atau media penunjang warga yang ingin mengabarkan kondisi sekitar atau ada masalah yang bisa dibagi kepada warga lain sehingga bisa dijadikan pelajaran. Misalnya, masalah tindak pencurian yang terjadi di wilayah tertentu. Dari unggahan yang ada, warga lain bisa belajar dan melakukan tindakan antisipasi agar kejadian tersebut tidak terjadi pada mereka.
Entah waktu yang sering digunakan oleh para pencuri, posisi pintu yang mudah dibuka, ataupun hal-hal lain. FP lokal semacam ini pun akhirnya menjadi media edukasi yang efektif yang tidak bisa terjangkau oleh media lain. Beberapa anggota kepolisian yang turut menjadi anggota FP tersebut juga kerap mengunggah edukasi semacam ini.