Bukan gambar sang walikota. Bukan pula gambar Tengku Wisnu dan Strudelnya. Apalagi, bukan pula gambar saya.
Namun, sesosok pahatan wanita cantik akan menyambut kita tatkala memasuki salah satu kota yang kini sedang meroket dunia pariwisatanya. Kota bernama Malang ini akan menyambut orang-orang yang mengunjunginya dengan sesosok wanita cantik. Lebih cantik dari Raisya ataupun Isyana. Dia adalah sosok yang bisa disebut sebagai "ibu" bagi masyarakat Malang. Sosok yang begitu dikagumi karena telah melahirkan generasi penguasa sejarah. Tak hanya di Malang, namun juga di nusantara. Ia adalah Ken Dedes, sang Ratu Singosari yang melegenda itu.
Pemilihan Ken Dedes sebagai sosok pembuka pintu gerbang Kota Malang dari arah utara bukanlah kebetulan semata. Jejaknya sudah diketahui banyak orang bahwa ia adalah istri dari Tunggul Ametung, akuwu kerajaan kecil bernama Tumapel dan kemudian direbut dan dipersunting oleh Ken Arok, sosok "penjahat" yang ternyata dipuja banyak warga Malang sebagai "pahlawan". Namun, banyak yang belum tahu, tak jauh dari patung Ken Dedes yang seakan memberi ucapan selamat datang di Kota Malang ini, ia benar-benar terekam jejak sejarahnya. Sang Putri Jelita Singosari itu lahir dan besar di sebuah tempat bernama Polowijen. Saat ini, Polowijen merupakan salah satu kelurahan di ujung utara Kota Malang. Persisnya, di sebelah barat fly over Arjosari yang kini sudah tampak indah dengan cat warna-warninya.
Alkisah, pada zaman dahulu kala, tersebutlah sebuah daerah yang sangat subur bernama Panawijyan. Sekitar abad ke-10 Masehi, desa ini tercatat sebagai sebuah desa yang sangat subur dengan potensi sumber daya alamnya. Sesuai dengan isi Prasasti Kanyuruhan B (bertarikh saka 865/ 945 M) yang dikeluarkan oleh Mpu Sendok, Panawijyan adalah daerah subur dengan banyak bangunan suci. Bangunan suci tersebut menurut ahli sejarah dan arkeologi diperuntukkan untuk sang Hyang Kagotranatau sang Hyang Kaswangga. Sayang, hingga kini belum jelas mengenai keberadaan dan detail lengkap bangunan suci tersebut.
Tak hanya bangunan suci, di dalam Prasasti Kanyuruhan B juga disebutkan pembagian sima sawah yang ada di Panawijyan. Namun, yang cukup menarik perhatian adalah tempat ini pernah dijadikan semacam pusat pembelajaran yang disebut sebagai "mandalakadewagurwan". Artinya, sebenarnya Polowijen sudah menjadi sebuah peradaban yang cukup besar pada saat perpindahan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Lagi-lagi, belum jelas agama apa yang dipelajari di dalam tempat pembelajaran tersebut : Hindu ataukah Buddha?
Ada sebuah informasi dari warga sekitar bahwa pernah terdapat peninggalan yang cukup banyak berupa arca-arca batu berlatar agama Hindu. Sayang, untuk kesekian kali, jejak arca-arca tersebut tidak ada sehingga tak diketahui masa dari arca-arca tersebut. Namun, bila berkenaan dengan parahyangan atau guru bhakti yang disebut dalam sima sawah tadi, maka arca tersebut merupakan bagian dari bangunan suci berlatar agama Hindu.
Dugaan ini memberi dasar bahwa di Panawijen/Panawijyan sempat terjadi perpindahan pada keyakinan warga dari Hindu menjadi Buddha. Hal ini sesuai dengan informasi yang tercantum dalam Kitab Pararaton. Konon, dikisahkan bahwa di sana telah tinggal sebuah komunitas Mahayana Buddhisme yang dipimpin oleh Mpu Purwa.
Nah, Mpu Purwa inilah yang merupakan ayah dari Ken Dedes. Ia disebut sebagai seorang boddhastapaka yang berarti pendiri patung, pemimpin upacara agama, dan pemimpin penjaga candi yang kini belum diketahui keberadaanya. Maka, peran Mpu Purwa di masyarakat sangatlah besar dan dihormati.
Kisah Mpu Purwa dengan anaknya bernama Ken Dedes ini terkutip petikan paro pertama Pararaton yang berbunyi :
"Kemudian adalah seorang bhujangga pemeluk agama Buddha (bhujangga boddhastapaka), menganut aliran Mahayana, bertugas di ksatrenya orang Panawijen, bernama Pu Purwa. Ia mempunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu itu ia belum menjadi pendeta Mahayana. Anak perempuan itu luar biasa cantik molek bernama Ken Dedes. Dikabarkan bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya. Termasyhur di sebelah timur Gunung Kawi sampai Tumapel."
Dari petikan Pararaton tersebut, tanpa diviralkan di Instagram, Ken Dedes sudah terkenal akan kecantikannya. Tanpa dihebohkan dengan vlog di Youtube, Ken Dedes sudah eksis dan menjadi primadona seantero bagian timur Pulau Jawa. Laki-laki mana yang tak kepincut dengan Ken Dedes. Cantik, baik tingkah lakunya, anak pembesar pula. Laki-laki mana juga yang tak kuasa melihat seorang bidadari yang begitu anggun.
Dan akhirnya, memori yang lebih mengerikan dari patah hati nasional sejatinya sudah terjadi di abad ke-13. Suatu hari, seorang akuwu Tumapel bernama Tunggul Ametung singgah di rumah Ken Dedes untuk menemui sang ayah dan bermaksud meminangnya. Saat itu, Mpu Purwa sedang pergi ke hutan. Oleh Ken Dedes, sang akuwu disuruh menunggu hingga ayahnya tiba. Sayang, Tunggul Ametung tak tahan melihat kecantikan Ken Dedes. Ia lantas membawa pulang paksa Ken Dedes untuk dinikahi.