Lihat ke Halaman Asli

Ikrom Zain

TERVERIFIKASI

Content writer - Teacher

Kisah Perseteruan Masyumi dan PKI, Dua Gajah Politik yang Hilang Ditelan Bumi

Diperbarui: 14 Februari 2017   07:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Propaganda Masyumi dan PKI menjelang Pemilu 1955. Sumber rappler.com

Saya baru tahu kalau kota kelahiran saya pernah dijadikan arena pertempuran politik superpanas yang mirip dengan apa yang terjadi sekarang di Jakarta.

Sudah lama, sih, sekitar tahun 1950an. Zamannya mbah kakung masih kinyis-kinyisnya merajut cinta dengan mbah putri. Kalau mendengar tahun segitu, pasti di benak saya adalah pertarungan maha gokil yang sering saya baca. Apalagi, kalau bukan perseteruan dua musuh bebuyutan dalam panggung politik Indonesia : Masyumi dan PKI. Dua partai politik yang sama-sama getol memperjuangkan ideologinya masing-masing untuk menjadi ideologi yang paling berpengaruh di Indonesia. Dua partai yang kini sudah tinggal kenangan. Meskipun, sisa-sisa peninggalan mereka, katanya, masih ada.

28 April 1954. Saya tidak yakin, anda yang membaca postingan ini sudah lahir. Satu tahun tepat sebelum pemilu pertama 1955 digelar. Meski masih akan setahun, kondisi politik tanah air sudah memanas. Saat itu, akan digelar rapat umum Partai Komunis Indonesia (PKI) di kota saya, Malang. Sebuah perhelatan besar akan digelar di alun-alun Kota Malang. Meski acara ini digelar oleh PKI, namun massa Masyumi juga datang.

Datangnya massa Masyumi disebabkan oleh provokasi dari PKI berupa sebuah spanduk bertuliskan “Kutuk Teror Perampok Masjumi-BKOI”. Spanduk ini adalah spanduk yang merespon demonstrasi Masyumi-BKOI di Jakarta pada 28 Februari 1954. Demonstrasi ini menyebabkan tewasnya salah satu perwira TNI Kapten Supartha Widjaja. 

Menyikapi demonstrasi ini, kedua partai ini bagai apa yang terjadi sekarang seperti saat dua kubu menyikapi aksi 411, 212, dan 112. PKI menganggap demonstrasi itu merupakan teror menjelang pemilu 1955. Namun, Masyumi menganggap spanduk itu fitnah. Meski saat itu belum ada medsos semacam FB dan sejenisnya, toh kedua partai bisa menggerakkan kadernya untuk menyikapi kejadian itu dengan posisi yang berbeda.

Suasana semakin panas ketika DN Aidit, Ketua CC PKI menyatakan bahwa memilih Masyumi itu haram dan memilih PKI itu halal. Meski tak mengutip ayat Al-Quran, tapi kontan saja, pernyataan Aidit itu membuat massa Masyumi semakin marah. Mereka meneriakkan kejadian Madiun 1948 adalah ulah PKI yang ingin menjadikan NKRI sebagai negara komunis. Massa Masyumi yang semakin marah lalu mencoba maju ke depan mendekati Aidit. Menuntut Aidit meminta maaf. Aidit pun meminta maaf dan menyatakan hanya ingin mengabarkan bahwa PKI bukan partai anti-agama. Pertemuan yang berakhir ricuh itu diakhiri dengan aksi perampasan semua atribut kampanye PKI.

Nah, yang bagi saya menarik, lagi-lagi adalah sikap kedua partai itu dalam menyikapi aksi tersebut. Kedua partai memiliki media massa masing-masing yang mencoba untuk menggiring opini publik. Harian Rakyat, media massa PKI mengabarkan bahwa kejadian itu sebagai percobaan pembunuhan terhadap Aidit, seperti yang diberitakan harian tersebut pada 31 Mei 1954. Namun, media massa milik Masyumi, Abadi,  mengabarkan sebaliknya. Kader Masyumi yang dipimpin oleh Ketua Masyumi Cabang Surabaya Hasan Aidid berupaya melindungi kemarahan massa.

PKI menjadi pemenang Pemilu Daerah 1957 di Kota Malang dengan meraih 12 kursi. Alm. Mbah Kakung sering bercerita betapa digdayanya PKI di Kota Malang. Sumber : www.pemilu.asia

Pertikaian dua partai ini sebenarnya sudah terjadi sejak awal kemerdekaan. Saat orang-orang kiri mulai masuk ke pemerintahan. Apalagi, dengan naiknya Amir Syarifuddin sebagai Perdana Menteri tahun 1948. Masyumi menganggap Amir lebih kiri dari Sutan Sjahrir. Pemeberontakan PKI tahun 1948 menyebabkan banyak anggota Masyumi, dari guru hingga kyai menjadi korban. Sejak saat itu, kebencian Masyumi terhadap PKI semakin tak terhankan. Perlombaan memperebutkan pengaruh ideologis semakin terbuka lebar.

Membaca sejarah dua partai itu bagi saya seperti menyelami apa yang terjadi sekarang. Kedua partai tak segan untuk saling serang. Saling memberi opini dan saling menunjukkan siapa yang paling benar. Kedua partai akan mencoba sekuat tenaga meraih simpati.

Masyumi berjaya di Jawa Barat. Hasil pemilu DPRP 1957 menujukkan Jawa Barat menjadi lumbung suara Masyumi. Sumber Gambar : www.pemilu.asia

Kisah paling berkesan bagi saya adalah perebutan pengaruh dua partai itu di Kota Surabaya. Pemilihan Kepala Daerah pada 1958 merupakan front terbuka PKI dan Masyumi untuk meraih dukungan. Saat itu, tak seperti sekarang, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh anggota DPRD. Pada DPRD Kota Surabaya hasil pemilu daerah 1957, Masyumi memperoleh 2 kursi, sedangkan PKI mendapat 17 kursi. 

Jumlah kursi yang jauh lebih banyak ini membuat PKI seperti berada di atas angin. Maka, Masyumipun terus membuat propaganda agar partai-partai lain mendukung calon yang diusungnya. Di kalangan masyarakat luas, kedua partai juga saling mencoba menggiring opini masyarakat. Namun, Masyumi gagal. Pemilihan Walikota 1958 itu dimenangkan oleh PKI yang mengusung Raden Satrio Sastrodiredjo. R. Satrio tampil sebagai Walikota Surabaya pertama yang berasal dari PKI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline