Lihat ke Halaman Asli

Ikrom Zain

TERVERIFIKASI

Content writer - Teacher

Raskin (7)

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Episode Sebelumnya : <<<<

Lalu lalang pasien dan keluarganya silih berganti dari ruang UGD itu. Seorang paruh baya terlihat terkulai lemah di atas ranjang dorong dengan selang infusnya menempel di tangannya. Seorang anak menangis kesakitan tatkala tancapan pecahan kaca masih terlihat di sekujur tubuhnya. Heni melihat pemandangan itu dengan mata nanar. Sudah hampir satu jam dia menunggui Sisi di sana. Di sampingnya Sasa tetidur pulas. Sesekali matanya melihat jam dinding di atap bangsal. Sudah hampir tengah malam. Sakit apakah anaknya? Sebelum dia tahu kondisi Sisi yang sebenarnya, dia tak akan pernah bisa memejamkan matanya. Meski itu harus dijalaninya hingga pagi menjelang.

Pak Amrin menemaninya sambil mencari udara segar di dekat taman. Dilihatnya Heni yang semakin sayu wajahnya. Betapa malang wanita itu. Saat anaknya sakit, suaminya entah pergi ke mana. Dirinya sempat mendengar pertengkaran hebat sepasang suami istri itu tadi siang. Baru kali ini mereka benar-benar bertengkar hebat. Di lubuk hatinya, ia sebenarnya ingin bertanya pada Heni. Tapi melihat kondisinya masih seperti ini, niat itu diurungkannya.

Pintu ruangan UGD terbuka. Seorang dokter keluar beserta dua orang perawatnya.

“Ada keluarga pasien bernama Sisi?” tanya dokter itu.

Heni segera beranjak dari tempat duduknya. Dia langsung mendekati dokter itu.

“Iya saya ibunya. Anak saya sakit apa, Dok?”

“Tenang saja, Bu. Anak anda terserang penyakit demam berdarah. Untung dia segera dibawa ke sini. Meski sempat terlambat, namun jika tidak segera nyawanya bisa terancam” dokter itu memberi penjelasan.

“Apa dia sudah siuman?”

“Tadi dia sempat siuman dan menangis mencari ibu. Tapi sekarang masih tidur kembali. Setelah ini dia akan dipindahkan ke ruang perawatan”

“Boleh saya melihatnya, Dok?” Heni tak sabar segera melihat putrinya.

“Oh, silahkan. Saya tinggal dulu ya. Nanti kalau ada apa-apa minta tolong suster saja”.

“Baik. Terima kasih, Dok”. Heni segera masuk ruang UGD sambil menggendong Sasa. Dilihatnya Sisi tengah terdtidur pulas. Mengetahui Heni masuk, Pak Amrin mengikutinya.

“Biar Sasa yang saya gendong, Hen”, kata Pak Amrin.

“Wah, kebetulan sekali. Terima kasih, Pak”. Heni lalu membereskan barang-barangnya. Sebentar lagi Sisi akan pindah kamar. Beberapa saat kemudian dua orang perawat membawa Sisi menuju ruang perawatan.

--------------ooooo---------------------------------------------------ooooo--------------------------------------------------------

“Mas Ardi pelan-pelan nyetirnya, dong”, Sandi berkata pada Ardi. Dia cukup ketakutan Ardi membawa motor dengan ugal-ugalan.

“Aku sudah tidak sabar, San. Aku takut kalau terjadi apa-apa sama Sisi”, sambil terus mengebut Ardi melihat wajah Sandi yang gugup.

“Iya mas, tapi kan bahaya juga kalau mas ngebut. Kalau dilihat poilisi kan juga malah tambah runyam”, Sandi mencoba memberi pengertian.

“Sudah kamu diam saja. Pegangan yang erat. Sebentar lagi juga sampai”, kata Ardi.

Huh, orang ini memang ababil. Sudah punya anak istri tapi masih belingsetan juga, batin Sandi. Dia hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi apa-apa.

Mereka akhirnya tiba di rumah sakit itu. Ardi segera memarkir motornya. Tanpa memerdulikan Sandi, dia mulai akan berlari menuju UGD.

“Woi, mas. Pelan-pelan kenapa?” Sandi kembali protes.

“Kamu ini jadi laki-laki jangan lembek dong”. Ardi kembali mempercepat langkahnya.

Sandi mengikutinya dengan kepayahan dari belakang. Sesampainya di UGD, Ardi segera masuk namun dihalangi petugas keamanan.

“Maaf, Pak. Yang tidak berkepentingan dilarang masuk”, ujar satpam sambil menghalangi jalan masuk Ardi.

“Tapi anak saya di dalam, Pak. Saya harus masuk”, Ardi bersikeras untuk masuk.

“Maaf, Pak. Tapi prosedur di rumah sakit ini memang demikian. Nanti kalau ada informasi baru keluarga pasien  kami panggil”, petugas keamanan mencoba memberi pengertian.

“Tidak bisa. Saya harus masuk”, Ardi semakin berkeras.

Dia mencoba mendorong petugas keamanan, tapi karena kalah jumlah, dia masih tertahan di depan pintu. Menyadari kondisi yang tidak baik, Sandi segera mendekati Ardi.

“Mas, jangan malu-maluin. Tadi satpamnya bilang kan tidak boleh masuk. Sebaiknya mas menunggu dulu sebentar”.

“Tapi aku harus masuk, San. Aku tak bisa menunggu lama di sini”, Ardi masih ngotot untuk masuk.

“Iya, tapi lihat. Di sini banyak keluarga pasien yang menunggu. Mas bisa mengganggu mereka. Lagipula mungkin saja Sisi sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Aku tidak melihat mbak Heni dan ayahku di sini”, Sandi mencoba menenangkan Ardi juga. Orang ini keras kepala juga, pikirnya.

Rupanya Ardi mulai mengerti. “Baiklah, kita tanya ke informasi di mana Sisi dirawat”.

“Nah, gitu dong. Dari tadi kenapa”, Sandi geleng-geleng kepala. Mas Ardi, Mas Ardi, sudah dewasa kok masih kayak anak kecil tingkahnya.

Setelah menemukan ruangannya, mereka pun masuk. Tampak Sisi tidur didampingi Heni. Sasa digendong Pak Amrin yang terlihat sudah mengantuk.

“Sisi, kamu tidak apa-apa, kan?” Ardi langsung memeluk Sisi.

Setelah memastikan kondisi Sisi yang stabil, hati Ardi akhirnya lega. Heni masih terlelap. Teganya telah habis. Pikirannya juga. Ardi langsung menyuruh Pak Amrin dan Sandi pulang.

“Terima kasih atas bantuannya, Pak. Saya tidak tahu harus bagaimana”, kata Ardi.

“Sudah, tenang saja. Sudah kewajiban bertetangga kan demikian. Sekarang jagalah istri dan anakmu, Nak Ardi. Kasihan mereka”, Pak Amrin sedikit memberi nasehat.

“Tuh, mas. Denger. Jangan kayak anak kecil dong”, celoteh Sandi.

“Kamu belum merasakan beratnya jadi seorang ayah, San. Nanti kamu rasakan sendiri bagaimana”, Ardi berkilah.

“Sudah, benar yang dikatakan Mas Ardi itu. Kamu sekarang masih enak. Coba kalau jadi kayak ayah yang punya anak seperti kamu, pasti kepikiran terus”, ujar Pak Amrin.

“Hehe, masih lama itu”, Sandi tersipu. “Ya sudah Mas, kami pulang dulu. Salam buat Mbak Heni”.

“Iya, terima kasih juga ya San. Hati-hati di jalan”.

Pak Amrin dan Sandi pun meninggalkan tempat itu. Kini Ardi terjaga sambil mengendong Sasa. Maafkan aku Heni, maafkan  aku Sasa, maafkan aku Sisi. Aku belum jadi suami dan ayah yang baik bagi kalian, kata Ardi dalam hati.

-----------------------oooooo------------------------------------------------------oooooo----------------------------------------

Menjelang pagi, Heni baru dapat bangun. Setelah membuka matanya, dia melihat Ardi tertidur di kursi sebelah ranjang Sisi sambil menggendong Sasa. Ah, rupanya kau datang juga. Meski amarahnya kini sudah hilang, tapi rasa kecewa itu tetaplah ada. Heni turun dari ranjang kecil itu dan menuju kamar mandi. Dibasuhnya mukanya dengan air. Rasa segar menyelimuti wajahnya. Air memang tidak hanya menyejukkan badan, tapi juga hati. Kini hatinya menjadi sedikit tenang. Dia harus sejenak melupakan masalahnya dengan Ardi untuk kesembuhan Sasa. Sesampainya di ruang perawatan kembali ternyata Ardi sudah bangun.

“Eh, kau sudah bangun. Aku benar-benar minta maaf, Hen, sungguh. Aku tidak bisa begini. Aku tak bisa jika tak bersamamu dan anak-anak”, Ardi memulai pembicaraan. Dia berharap kata penerimaan maaf dari mulut istrinya.

“Sudahlah, bang. Jangan ngomongin itu dulu. Ini Sisi masih sakit”, jawab Heni.

Bukan jawaban yang diinginkan Ardi memang. Tapi setidaknya dia tidak keberatan dengan kehadirannya di sini. Tidak seperti kemarin siang. Tidak apalah, nanti dia akan memaafkannya.

Hari itu Sisi akan diambil darahnya untuk dites kadar trombositnya. Hasilnya cukup memuaskan. Ada sedikit peningkatan dibandingkan saat pertama masuk kemarin. Perlahan kondisi tubuh anak itu membaik. Sekitar pukul 5 pagi, Ardi memutuskan kembali ke rumah bersama Sasa. Dia akan mengantar Sasa sekolah dan akan kembali lagi untuk membawa perlengkapan serta pakaian. Heni memandangi suaminya. Masih ada luka menganga di hatinya. Luka itu akan sulit sembuh, meski waktu telah berlalu.

----------------------ooooo---------------------------------------------------------------------------ooooo--------------------

Seorang pria kembali mengintai bangunan di dekat kompleks perumahaan itu. Sesekali dia melakukan percakapan melalui HT. Langkahnya semakin mendekati bangunan itu menuju sebuah jendela yang cukup tinggi. Dia semakin penasaran ada apa di sana. Sambil membungkukkan badannya, dia melihat seorang pria bertato yang sedang merokok sambil mendengarkan musik. Pasti dia yang merampok kemarin, pikirnya. Langkahnya kembali mendekati jendela. Dia cukup dapat mengamati gerak-gerik pria itu.

Rupanya, dia tak menyadari ada sesosok pria jangkung mendekatinya. Di tangannya tergenggam sebuah balok kayu cukup besar. Pria jangkung itu langsung menghantamkan kayu yang dibawanya. Pria itu jatuh tersungkur. Tapi dia masih sadar. Menyadari dia telah ketahuan, dia ingin berlari keluar. Malang baginya, pria jangkung tadi melayangkan pukulan ke wajahnya. Tidak hanya itu, pria jangkung tadi lantas menyeretnya masuk ke dalam. Meski sempat memberontak dan memberi perlawanan, usaha pria malang tadi sia-sia.

“Man, kita dapat tikus nih”, pria jangkung itu berteriak.

“Wah, besar juga tikusnya. Ayo kita habisi saja”, pria bertato yang merupakan Herman keluar dari kamar.

Mereka berdua segera mengikat pria itu. Sesekali mereka memberi pelajaran dengan memukul bagian perut dan mukanya. Pria malang itu berteriak keras. Agar tidak ketahuan , Herman menyumpal mulutnya dengan lakban. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Saat Herman menemukan sesuatu dari balik saku pria malang itu, mereka berdua semakin keras memberi pelajaran.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline