Lihat ke Halaman Asli

Cerita Tanpa Klimaks

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Basah lagi, terpaksa aku harus berjibaku dengan hujan di dinginnya malam. Saat yang lain sedang terlelap di ninabobokkan nyanyian alam yang mengetuk-ngetuk atap rumah, aku harus berada di luar rumah dan merelakan kepalaku di ketuk-ketuk oleh hujan yang seakan sangat menikmati suara rintihan dan gemetar yang kurasakan.

Hidup sebagai seorang pedagang kaki lima yang berjualan hingga dinihari, melanjutkan usaha orang tua yang berhasil menyekolahkanku walau tak berhasil menempatkanku di dunia kerja memberiku banyak waktu istirahat. Ya, tolok ukur keberhasilan kerja menurutku adalah memiliki banyak waktu luang untuk menikmati hidup dan tentunya memiliki dana lebih untuk lebih memanjakan nafsu yang melekat pada diriku.

Sesampainya di rumah, kamar adalah tempat yang paling aku rindukan. Untuk sekedar berganti pakaian sebagai bentuk ibadahku. Sebab membiarkan pakaian basah terus melekat pada kulit adalah sebuah bentuk penganiayaan pada diri. Tanpa perlu ajaran agama, aku pun tahu bahwa hal tersebut adalah sebuah keburukan dan di benci oleh Tuhan.

Kutatapi ranjangku sejenak, biasanya disana terbaring istri dan anakku, sekarang mereka berada di kampung untuk melepas kerinduan. Tepatnya kerinduan istriku pada orang tuanya. Karena bayi kecilku sama sekali tidak merasakan rindu seperti rindu yang mendera mamanya.

Kadang aku berpikir, mengapa aku harus mengalami semua ini. Bukannya aku mengeluh atas turunnya hujan, tetapi aku mengeluh pada hukum alam. karena ku harus tunduk pada sebuah keharusan. Keharusan untuk memanjakan nafsu  sesaat yang terus menggerogoti diriku. Sekiranya tak ada nafsu, mungkin hidup ini akan sangat menyenangkan tanpa adanya dorongan untuk lebih. Makan ala kadarnya tanpa perlu dipertimbangkan enak-tidak enaknya. Toh rasanya hanya sekejap sebatas leher. Sekiranya tidak ada nafsu yang mendorong untuk memiliki barang-barang mewah, sekiranya tidak ada nafsu sex. Pasti hari ini aku sedang tertidur lelap tanpa perlu perjuangan. Tetapi bagaimana mungkin, karena hidupmenyenangkan yang aku maksud pun berasal dari nafsu itu juga.

Walaupun orang-orang mengatakan “hidup adalah perjuangan”. Namun, bukan itu jawaban yang kuharap. Karena kalimat itu kembali menimbulkan pertanyaan di benakku, Mengapa kita harus berjuang? Berjuang untuk memanjakan nafsu. Bukankah perjuangan yang selama ini Cuma untuk memanjakan nafsu. Bahkan aku terlahir pun karena nafsu. Mungkin manusia memang terlahir hanya karena nafsu. Nafsu syahwat dari kedua orang tua untuk mempertemukan sperma dan ovum sehingga terlahir lagi seorang manusia. Manusia yang mengikuti hukum alam. harus berjuang untuk memanjakan nafsu.

Kalau bukan karena nafsu, tidak mungkin aku mau berbasah-basah di dinginnya malam seperti ini. Nafsu untuk minimal tidak dikatakan miskin. Sebuah ketergantungan pada penilaian manusia lain, Seperti halnya sebagian waktu yang ku buang di sebuah organisasi. Nafsu untuk mendapatkan penghargaan sebagai seorang ketua. Walau sebenarnya aku tidak mendapatkan lebih dari sana kecuali sebuah penghargaan. Begitu mahalnya aku membeli untuk penghargaan itu. Sebagian waktu, energi, pikiran dan uangku kucurahkan untuk penghargaan itu. Penghargaan yang tidak kudapatkan dari profesiku sebagai pedagang kaki lima.

Sebagai pedagang kaki lima, penghargaan yang kuterima hanya sebatas uang. Kadang ada yang memaki ketika makanan yang mereka pesan terlalu lama kuhidangkan. Tapi itulah konsekuensi dari upayaku memanjakan nafsu. Terjadi sebuah kontradiksi, di sisi lain nafsuku menuntutku untuk menerima penghargaan dari manusia lain, namun dengan jalan merendahkan diri di hadapan manusia lain. Bukankah profesi yang lain pun sama seperti itu. Melayani. Yang berarti merendahkan diri di hadapan manusia yang dilayani.

Aku masih bingung dengan segala arti hidup ini. Agama pun yang sebagian orang melihatnya sebagai tujuan sekaligus tuntunan hidup, menurutku hanya sebagai kumpulan budaya dari kecongkakan manusia yang ingin dipandang baik. Mereka beramai-ramai ke masjid, shalat berjamaah, puasa dan sedekah. Bukankah semua itu sekedar untuk di pandang sebagai manusia yang baik. Paling tidak agar di pandang Tuhan sebagai ciptaanNya yang baik. Karena untuk membedakan baik dan buruk, menurutku tidak perlu ada yang namanya agama. Toh, kita tahu mencuri itu buruk, zina itu buruk, bohong itu buruk, sedekah itu baik, jujur itu baik, memberi itu baik. Lalu apa fungsi agama? Apakah agama hanya berfungsi untuk mengatur tata cara shalat dan berbagai ritual bahkan untuk sekedar menyembelih hewan? Sebuah permainan hidup yang dibuat Tuhan untuk dilaksanakan, yang jika dilanggar mendapat ancaman neraka.

Saya minta maaf atas segala kebingungan dari coretan-coretanku ini. Karena aku pun sedang bingung melihat diriku. Mungkin bingung karena aku yang masih basah kuyup demi mencari uang untuk istri dan anakku, namun mereka tak disini untuk memberikan penghargaan pada perjuanganku.

wassalam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline