Lihat ke Halaman Asli

Perempuan di Terminal

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Engkau dengan menjinjing tas di tanganmu, sedang berdiri di terminal. Pikiranmu begitu kalut. Beberapa pedagang asongan menghampiri menawarkan jajanan. Engkau tak peduli. Engkau hanya diam mematung. Resah menyelimuti.

Dia berjanji akan menemuimu tepat pukul 12 siang. Dia telah terlambat 2 jam. Engkau berharap, dia memang hanya terlambat. Mungkin karena jalan macet, atau karena ada hal-hal lain yang membuatnya terlambat. Tapi jarum detik tak henti-henti berdetak. Mengajak serta jantungmu berdebar resah menantinya.

Sementara di luar sana, Engkau yakin orang tuamu sedang mencarimu. Putri tunggal mereka. Harapan dan kebanggaan mereka. Engkau hanya menitip pesan pada secarik kertas yang Engkau tinggalkan di dalam kamarmu untuk mereka.

“Ayah... Ibu... kalian tidak perlu mencariku. Aku telah dewasa. Aku sudah cukup matang untuk memilih jalan hidupku. Aku pergi. Entah kapan aku akan kembali. Mungkin tidak untuk selamanya. Aku hanya ingin menjalani hidup dengan pria pilihanku. Bukan pilihan kalian yang selalu beranggapan aku hanyalah seorang anak kecil tanpa kehidupan sendiri. Aku hanyalah seorang anak kecil yang tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Kalian selalu mengira aku terlalu lugu untuk mempercayai seseorang. Tapi pria yang satu ini, aku sungguh percaya. Dia adalah hidup dan matiku. Ayah... Ibu... maafkan putrimu ini yang belum bisa membalas budi kalian,” pesan yang Engkau tinggalkan untuk orang tuamu.

Engkau merasa sangat berat untuk menuliskan pesan tersebut. Tapi Engkau harus memilih. Karena ini berkaitan dengan masa depanmu. Engkau tidak pernah sepakat dengan perjodohan. Hari ini bukanlah lagi zaman Siti Nurbayah. Bukan zaman dimana perempuan tidak punya kehendak. Pendidikan yang Engkau enyam, telah membuka matamu bahwa perempuanpun punya kehendak. Perempuanpun punya kehidupan. Engkau menolak pandangan orang tuamu yang menurutmu sangat kuno. Menempatkan perempuan sebagai objek kehidupan. Tanpa pernah sekalipun menjadi subjek kehidupan.

Di masa-masa kebimbangan akan tradisi yang tidak berpihak pada perempuan itu, dia hadir menawarkan senyum untukmu. Memberi perhatian. Terutama dia adalah pria yang sangat pengertian. Melihatmu sebagai salah satu subjek yang mengisi dunia. Mendukung segala pilihanmu untuk melawan tradisi keluarga yang kolot. Engkau tersanjung dengan rasa yang dia berikan. Pertama kali Engkau merasa dihargai sebagai manusia.

Engkau adalah manusia. Yah, Engkau adalah manusia juga. Sama seperti laki-laki. Bunga cinta perlahan mekar di taman hatimu. Engkau ingin tetap merasakannya hingga akhir hayatmu. Engkau tidak ingin melepas kesempatan bagimu untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang merasakan cinta. Manusia yang merdeka memilih takdir cintamu. Engkau ingin selamanya bersama pria yang baru Engkau kenal itu.

Janji untuk sehidup-semati telah kalian ikrarkan. Kalian berjanji untuk bertemu di terminal itu jam 12 siang. Kalian berencana untuk meninggalkan segala masa lalu. Kalian ingin menghapus lembaran-lembaran kisah yang telah kalian lalui. Lalu membuka lembaran baru. Dimana hanya ada kalian berdua. Di sebuah kota yang jauh dari pusaran kisah masa lalu.

Namun waktu terus bergulir. Engkau menunggu kehadirannya untuk membawamu ke dunia baru. Perlahan langit kian gelap. Rembulan bersembunyi di balik awan tipis. Dia belum juga nampak. Engkau masih setia menantinya. Walau terkadang, air matamu menetes di pipi tanpa Engkau sadari. Engkau terus saja menanti. Engkau masih mempercayainya. Lalu sesekali pikiran itu muncul. Engkau berpikir, bahwa dia telah mengkhianatimu. Namun dengan segera, Engkau usir pikiran itu jauh-jauh.

Hingga mentari membangunkanmu dari tidur yang tidak nyenyak di terminal itu. Dia belum juga hadir. Engkau berdiri. Menengok kesana-kemari, berharap dapat menemukan wajahnya. Tapi tidak. Dia tidak datang. Hati kecilmu telah meyakini pengkhianatannya, namun Engkau masih memberi kesempatan padanya untuk menemuimu di terminal itu. Engkau masih sudih menunggu kedatangannya. Waktu terasa begitu lambat merayap. Sepuhan angin sepoi membelaimu begitu lembut. Hingga nafas yang asing dalam pikirmu, berhembus jelas mengaliri hidungmu. Semua terasa jelas dalam gerak waktu yang nyaris membeku.

Lalu muncul wajah seorang pria di sudut sana. Dia ayahmu. Matanya begitu nanar menatapmu. Dia segera berlari ke arahmu. Lalu memelukmu. Engkaupun membalas pelukannya. Derai air matamu mengalir deras. Engkau luapkan segala perih yang tersembunyi di hatimu. Engkaupun mengakui, bahwa pria yang berjanji datang kemarin telah mengkhianatimu. Hatimu serasa remuk. Pria yang membangkitkan semangatmu untuk menemukan jati diri, ternyata dialah yang makin meruntuhkan keyakinanmu akan kemerdekaan seorang perempuan.

Engkau kalah. Engkau serahkan takdirmu pada denting waktu yang tidak pernah berpihak padamu. Engkau malu. Engkau membuktikan bahwa dirimu terlalu lugu. Engkau terlalu naif untuk meraih kehendak. Engkau tidak ditakdirkan untuk memiliki kehendak.

“Ayah, maafkan aku,” mohonmu pada pria yang tengah merangkulmu begitu hangat.

“Ayah yang harusnya minta maaf, Nak. Ayah harusnya menyadari, bahwa kamu berhak menentukan jalanmu sendiri.”

Kalian berdua menangis. Air mata mengaliri pipi kalian. Engkau biarkan isak tangis terdengar memenuhi terminal. Sedangkan Ayahmu, cukup air mata. Tiada suara isak tangis. Asam garam kehidupan telah membentuknya lebih keras dari karang.

"Ayah sudah membatalkan perjodohanmu, Nak,” ujar ayahmu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline