BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Bali merupakan pulau yang memiliki adat istiadat/ budaya yang sangat melekat erat dengan kehidupan masyarakat setempat yang sebagian besar beragama hindu. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga sering disebut bahwa Agama Hindu merupakan roh dari Budaya Bali. .
Bali memiliki kebudayaan yang cukup beraneka ragam, seperti: Seni Ukir, Seni Tari, Seni Tabuh, kebiasaan masyarakat daerah tertentu yang unik, yang kesemuanya itu memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri. Di dalam ajaran Agama Hindu, Masyarakat Bali mengenal suatu istilah yang disebut “Catur Asrama”. Catur Asrama merupakan empat tahapan atau tingkatan di dalam menjalankan hidup di dunia , yaitu brahmacari,grhasta, sanyasin, bhiksuka. Grahasta merupakan tahapan kedua dalam kehidupan Masyrakat Bali yang berarti kehidupan di dalam berumah tangga.
Tentunya awal dari suatu kehidupan berumah tangga yaitu terselenggaranya prosesi upacara pernikahan atau yang sering disebut “pawiwahan” dalam Masyarakat Bali. Dalam Masyarakat Bali, ada berbagai jenis upacara pawiwahan yang disesuaikan dengan desa,kala,patra. Umumnya dalam upacara pernikahan di Bali, pihak purusa (laki-laki) memiliki peran andil yang sangat besar dibandingkan dengan pihak pradana (perempuan). Tetapi pada upacara Pernikahan Gelahang Bareng/Negen tidak seperti pada umumnya. Sehingga ini menarik minat penulis untuk membuat makalah yang berjudul “ Perkawinan Gelahang Bareng/Negen pada Masyarakat Bali ; Dalam Perspektif Hukum Adat Bali ( Studi Kasus di Kota Singaraja)”
1.2Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis angkat ,sesuai dengan latar belakang masalah di atas, yaitu:
1.Apa yang dimaksud dengan Perkawinan Gelahang Bareng / Negen?
2.Bagaimana Kaitan Perkawinan Gelahang Bareng /Negen dengan Hukum Adat Hindu di Bali?
3.Bagaimana Implikasi / Dampak Perkawinan Gelahang Bareng/Negen terhadap Masyarakat Singaraja?
1.3Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan yang penulis angkat yaitu:
1.Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Perkawinan Gelahang Bareng / Negen.
2.Untuk mengetahui Kaitan Perkawinan Gelahang Bareng /Negen dengan Hukum Adat Hindu di Bali?
3.Untuk mengetahui Implikasi / Dampak Perkawinan Gelahang Bareng/Negen terhadap Masyarakat Singaraja
1.4Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang penulis gunakan antara lain yaitu:
1.Studi Kepustakaan
Yaitu metode yang dilakukan dengan cara mencari bahan- bahan/ materi yang terkait dengan makalah di perpustakaan,internet,dll.
2.Wawancara
Yaitu metode yang dilakukan dengan cara melakukan wawancara dengan nara sumber yang terkait. Adapun beberapa narasumber tersebut antara lain; Drs. I Nyoman Mendra, I Nyoman Sumantra, B.A.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan Gelahang Bareng / Negen
Perkawinan Gelahang Bareng/“Negen Dadua” disetiap tempat / wilayah di Provinsi Bali mempunyai nama yang berbeda. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Peneliti Perhimpunan Dosen Hukum Adat (Pershada) Bali, 2008, telah ditemukan nama lain dari Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalahPerkawinan Pada Gelahang, Perkawinan Mepanak Bareng, Perkawinan Nadua Umah, Perkawinan Mekaro Lemah, Negen, atau Negen Ayah, Perkawinan Magelar Warang, “PerkawinanParental, Perkawinan Mekaro Lemah atau Madue Umah “.Perkawinan Nyentana (Nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara mepamit,
Umumnya Perkawinan Gelahang Bareng/Negen tidak terlalu sering dilaksanakan. Terbukti dari survei yang dilakukan oleh LSM tertentu, bahwa ada 28 pasutri di bali yang melaksanakan system Perkawinan Gelahang Bareng/Negen. Dan mungkin saja masih banyak pasutri yang melaksanakan sistem ini yang tidak tersurvei.
Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis, terdapat berbagai factor yang menyebabkan terjadinya sistem Perkawinan Gelahang Bareng/Negen, yaitu: calon istri merupakan anak semata wayang sehingga tidak ingin kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau baik calon suami maupun istri merupakan anak semata wayang, Jika calon suami memiliki saudara laki-laki, namun di dalam desa,kala,patra keluarga suami tidak lazim mengadakan sistem Nyentana (hanya istri yang berperan senagai Purusa), sehingga dilaksanakan sistem Perkawinan Gelahang Bareng/Negen.
Perkawinan “Negen Dadua” merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu dari Perkawinan “Negen Dadua” telah memunculkan hak anak / anak-anak perempuan di Bali untuk mendapatkan hak waris dari orang tuanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem perkawinan ini merupakan persamaan derajat yang menjungjung tinggi HAM (Hak Azasi Manusia), khususnya terhadap anak/anak-anak yang lahir perempuan karena Masyarakat Bali menganut sistem patrilinial.
Sebagai syarat sahnya Perkawinan “Negen Dadua” dapat disimpulkan apabila telah melakukan beberapa prosesi secara Agama Hindu dan Adat Bali, yaitu : sudah dilangsungkan Upacara Pebyakaonan, dan tidak dilakukan Upacara Mepamit, serta sudah disepakati oleh Mempelai, Orang Tua (Ayah, Ibu kedua belah pihak )
Ahli Weda, Prof. Drs. I Made Titib, Ph.D. dalam seminar “Lembaga Perkawinan Negen Dadua Mapanak Bareng”menegaskan jenis Perkawinan Gelahang Bareng/ Negen dibenarkan dalam Ajaran Weda. Selain itu akan Perkawinan Gelahang Bareng/Negen berguna untuk menyelamatkan keturunan bagi mereka yang tidak memiliki anak laki-laki, manakala mempelai pria juga tidak berkenan untuk nyentana.
2.2 Kaitan Perkawinan Gelahang Bareng /Negen dengan Hukum Adat Hindu di Bali
Pada dasarnya hukum adat menyatakan bahwa sesorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila seseorang sudah kuat gawe atau mampu untuk bekerja secara mandiri, cakap mengurus harta benda serta keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala tata cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk mempertanggungjawabkan segala tindakannya dalam tataran kehidupan sosialnya di masyarakat serta jika melakukan koitus (senggama) dan menghasilkan keturunan maka mereka dinyatakan dewasa, dan jika tidak menghasilkan keturunan maka mereka belum dikatakan belum dewasa.
Dr. Wayan P. Windia, S.H, M.Hum, ahli hukum adat Bali dari FH Unud menyatakan bahwa pada hukum adat Bali, jika seseorang mampu negen (nyuun) sesuai beban yang diujikan, mereka dinyatakan loba sebagai orang dewasa. Ia menyatakan perkawinan gelahang bareng masih relatif baru dalam masyarakat Bali.
Perkawinan Gelahang Bareng /Negen tidak bertentangan dengan Adat Bali maupun Ajaran Agama Hindu. Banyaknya konflik yang muncul di permukaan,diakibatkan oleh sistem perkawinan ini yang masih baru dan pemahaman masyarakat yang masih sempit. Didalam kitab Suci Manawa Dharmasastra atau Weda Smrti, Buku IX, tentang Atha Nawanodhayayah, sloka 132, 133, 134, 135 dan 136, telah mengatur tentang pengangkatan wanita menjadi status purusa. Dengan begitu,Weda sangat menjunjung tinggi keberadaan wanita dan setiap pria harus menghormati wanita baik ibunya, saudara maupun istrinya.
2.3 Implikasi / Dampak Perkawinan Gelahang Bareng/Negen terhadap Masyarakat Singaraja
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan, masyarakan singaraja jarang yang melaksanakan sistem perkawinan sepert ini. Akibat yang ditimbulkan dari dilangsungkannya Perkawinan “Negen Dadua” adalah mempelai perempuan berstatus purusa, sehingga merupakan pelanjut darah/ keturunan dirumah orang tuanya. Begitu juga mempelai laki-laki tetap berstatus purusa atau pelanjut darah keturunan dirumah orang tuanya.
Anak yang dilahirkan dari Perkawinan “Negen Dadua” dihadapankan dengan status kepurusa, yang kemudian menimbulkan kewajiban (swadarma) dan hak (swadikara) dan/atau hubungan pergaulan dengan masyarakat setempat (pasidikaraan) akan ditentukan sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini,yaitu
1. Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa.
2. Perkawinan Gelahang Bareng /Negen tidak bertentangan dengan Adat Bali maupun Ajaran Agama Hindu.
3. Adapun dampak secara nyata dari sistem perkawinan ini yaitu: pasutri memiliki beban gandan dalam melaksanakan kewajiban dalam desa pakraman seperti ayah-ayahan di pura,banjar,dll, Jika pasutri hanya memiliki satu anak, maka beban anak akan berlipat ganda apalagi anak tersebut akan menikah.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan yaitu:
1.Sistem Perkawinan Gelahang Bareng/Negen hendaknya dapat dijadikan solusi di dalam sistem perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali.
2.Hendaknya masyarakat memiliki pemikiran yang luas dan memahami persamaan gender di dalam Masyarakat Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H