Lihat ke Halaman Asli

Ikon Sauki

Mahasiswa UIN Khas Jember

Mengungkap Makna Sakral di Balik Tradisi Rebo Wekasan

Diperbarui: 28 Agustus 2024   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi Rebo Wekasan [doc. freepik.com]

Sebagai makhluk berbudaya dan berperadaban, manusia telah lama berusaha memahami alam demi kelangsungan hidupnya. Dalam bukunya The Study of Man, Ralph Linton (1936) menyatakan bahwa evolusi budaya dimulai dari respons alami (reaksi refleks) yang terus berkembang sepanjang waktu. Agama, sebagai salah satu elemen budaya, berkontribusi signifikan dalam mewarnai ekspresi budaya.

Ronald L. Johnstone (1983), dalam karyanya Religion in Society: A Sociology of Religion, menguraikan bahwa agama dalam perspektif sosiologis berupa tindakan sosial yang mencerminkan aktivitas individu, intelektual, dan kesadaran. Peristiwa sosial dan budaya yang kita saksikan, baik di media sosial maupun di sekitar kita, sering kali melibatkan tiga entitas sekaligus: agama, sosial, dan budaya.

Contohnya adalah fenomena rebo wekasan, di mana umat Islam Indonesia, khususnya, melaksanakan ritual pada hari Rabu terakhir bulan Safar dalam kalender Hijriyah, seperti mandi berdasarkan tradisi Wali Songo, sholat berjamaah dengan doa khusus, silaturahmi, sedekah (sering disebut tawurji), dan membuat apem (makanan dari tepung beras dan tepung singkong yang disajikan dengan kuah gula merah). Semua kegiatan ini bertujuan untuk menolak bala atau menghindari bencana.

Bagi sebagian umat Islam di Indonesia, ritual rebo wekasan memiliki nilai sakral, terutama karena dalam ajaran teologis (Al-Qur'an dan Hadis) dijelaskan pentingnya bersyukur dan berdoa. Dalam konteks ini, ritual tersebut dianggap sebagai upaya meminta perlindungan dari berbagai bahaya yang diyakini akan datang.

Quraish Shihab (2006) mengungkapkan bahwa dalam Al-Qur'an, bencana memiliki berbagai pengertian seperti musibah, bala', azab, iqob, dan fitnah. Misalnya, musibah berarti sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia, sedangkan bala' mengacu pada ujian untuk menguji kualitas iman seseorang. Fitnah, dalam hal ini, adalah cobaan dari Allah yang dapat berupa kebaikan atau keburukan.

Dengan demikian, bencana sering kali dianggap sebagai peringatan dari Allah. Jika peringatan ini tidak direspon dengan baik, mungkin akan ada peringatan yang lebih besar lagi. Dalam sejarah manusia, berbagai bencana juga melahirkan mitos, seperti tsunami yang dianggap sebagai kemarahan penghuni laut atau gunung meletus sebagai tanda amarah penghuni bumi. Mitos ini, menurut E.B. Taylor (1920), memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan religius manusia. Mitos dan agama memiliki makna tersendiri bagi individu maupun komunitas, sehingga tradisi keagamaan dipandang sebagai rasional dari perspektif ini.

Marcia Eliade (1975), dalam Myth and Reality, juga menjelaskan bahwa masyarakat mengungkapkan kereligiusan mereka melalui ritus yang terinspirasi dari mitos. Bagi mereka, agama dan mitos adalah kekuatan untuk keselamatan dan peneguhan realitas suci. Rasionalitas mitos dalam kehidupan tercermin dalam praktik-praktik keagamaan seperti pembagian apem pada rebo wekasan.

KH Maimoen Zubair menjelaskan bahwa dalam kitab Tarikh Muhammadur Rasulullah, Rasulullah SAW memulai sakitnya pada hari Rabu terakhir bulan Safar, yang dikenal sebagai Arba' Mustamir. Selama 12 hari, Rasulullah SAW sakit dan wafat pada 12 Rabiul Awal. Beliau pernah berpesan kepada Sayidina Abu Bakar untuk bersedekah, karena bala dan musibah tidak bisa mendahului amal sedekah. Khususnya sedekah kepada anak yatim dan dhuafa.

Oleh karena itu, tindakan kolektif umat Islam Indonesia dalam membagikan apem setiap rebo wekasan adalah respons teologis terhadap peringatan dari Allah dalam bentuk bencana. Fenomena ini juga merupakan ekspresi solidaritas sosial terhadap bencana yang terjadi di lingkungan sekitar. Secara antropologis, manusia adalah makhluk biologis dan sosial. Umat Islam Indonesia, sebagai mayoritas, memiliki berbagai tradisi budaya dalam mengekspresikan ajaran agama, termasuk relasi dengan alam sebagai sumber kehidupan. Salah satu contohnya adalah tradisi rebo wekasan yang melambangkan kekuatan sosial dan solidaritas dalam menghadapi bencana.

Ritual Ngapem pada rebo wekasan adalah cara umat beragama dalam upaya mencegah keburukan yang mungkin datang. Dari perspektif vokal, Ngapem berarti menjaga diri dari keburukan yang keluar dari mulut, seperti berita bohong yang bisa menimbulkan ketegangan sosial. Sementara itu, secara fungsional, rebo wekasan adalah momen bersama untuk menjaga harmoni sosial sebagai wujud tanggapan terhadap bencana yang menimpa umat manusia, baik lokal maupun global.

Dengan demikian, praktik membagikan apem pada rebo wekasan adalah perwujudan dari respons budaya dan religius umat Islam Indonesia dalam rangka menghadapi bencana.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline