Ikom.umsida.ac.id - Upaya revisi Undang-Undang Pilkada yang tengah digodok oleh DPR menuai tanggapan kritis dari akademisi. Dr. Sufiyanto, dosen komunikasi politik di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) dan Direktur The Republic Institute, menyoroti bahwa revisi ini diduga merupakan langkah untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan lebih banyak calon kepala daerah tanpa perlu didukung kursi di DPRD. Menurut Sufiyanto, langkah ini menjadi sinyal kuat adanya upaya dari kelompok politik tertentu untuk mengatur jalannya Pilkada, khususnya melalui penciptaan kondisi di mana calon tunggal menjadi dominan di berbagai daerah.
Putusan MK dan Kontroversi Revisi UU Pilkada
Pada Selasa (20/08/2024), MK memutuskan bahwa partai politik tidak lagi memerlukan kursi di DPRD untuk mengajukan calon kepala daerah. Putusan ini membuka peluang bagi calon-calon independen dan pendatang baru untuk turut bersaing dalam Pilkada, yang diharapkan mampu memberikan alternatif pilihan bagi masyarakat. Namun, kontroversi muncul ketika DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) memutuskan untuk mengadakan rapat guna membahas revisi UU Pilkada pada Rabu (21/08/2024). Banyak pihak, termasuk Sufiyanto, menilai revisi ini bertujuan untuk menghalangi atau membatasi implementasi putusan MK.
Dr. Sufiyanto, ia menegaskan bahwa revisi ini bisa menjadi langkah politis untuk mengatur Pilkada agar tetap didominasi oleh calon-calon yang sudah dikenal atau didukung oleh koalisi besar. "Revisi ini berpotensi mempersempit ruang kompetisi yang lebih sehat dan inklusif, di mana masyarakat dapat memilih dari beragam pilihan calon," tegasnya. Ia juga menambahkan bahwa jika revisi UU ini disahkan, maka Pilkada di berbagai daerah bisa kembali pada pola lama di mana calon tunggal atau pasangan yang sudah diatur oleh kekuatan politik tertentu menjadi dominan.
Ancaman Calon Tunggal dan Demokrasi Lokal
Sufiyanto menyoroti tren yang terjadi dalam beberapa Pilkada di Jawa Timur, di mana ada indikasi kuat bahwa sejumlah daerah diupayakan hanya memiliki satu pasangan calon. Ia mencontohkan beberapa kabupaten dan kota di Jawa Timur yang kondisinya sudah mengarah pada calon tunggal. "Dengan kondisi seperti ini, masyarakat tidak lagi diberikan pilihan yang beragam, dan proses demokrasi yang seharusnya terbuka serta kompetitif menjadi terhambat," ujar Sufiyanto.
Di tingkat nasional, fenomena serupa juga terlihat, terutama di daerah-daerah strategis seperti DKI Jakarta. Menurutnya, kekuatan politik tertentu berupaya untuk memastikan bahwa kandidat mereka yang maju di Pilkada memiliki peluang menang lebih besar dengan cara menghilangkan atau melemahkan kompetisi. "Kita bisa melihat pola yang sama di DKI Jakarta, di mana kondisi politiknya diprediksi akan mengarah pada calon tunggal, yang mana ini menjadi ancaman serius bagi demokrasi lokal," tambahnya.
Desakan untuk KPU dan Dampak Revisi UU Pilkada
Selain itu, The Republic Institute mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjalankan kewajiban sesuai dengan putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Menurut Sufiyanto, KPU tidak perlu menunggu petunjuk dari DPR atau hasil pleno Baleg DPR untuk melaksanakan putusan MK. "KPU akan menjadi sumber masalah jika tidak segera menjalankan putusan MK, karena regulasi menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat," jelasnya.
Sufiyanto juga mengingatkan bahwa pada putusan MK soal Pilkada ini, tidak diperlukan konsultasi dengan DPR, dan pelaksanaan putusan tersebut bisa langsung dijalankan tanpa menunggu peraturan teknis baru. "Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan kepala daerah sudah sangat jelas. Tidak perlu ada tafsiran lain yang bisa mengarah pada upaya menghambat pencalonan," tegasnya lagi.
Menurutnya, pembahasan revisi UU Pilkada oleh Baleg DPR merupakan indikasi adanya perlawanan politis terhadap dinamika Pilkada serentak 2024, yang justru mengarah pada pengaturan hasil dengan menghadirkan calon tunggal di banyak daerah. "Ini bukan sekadar revisi undang-undang, tapi lebih pada upaya mengatur dan mengarahkan Pilkada sesuai dengan kepentingan politik kelompok tertentu. Dan ini tentu menjadi ancaman bagi proses demokrasi yang sehat," tutupnya.