Minangkabau terkenal dengan Adat Budayanya yang masih sangat kental dan juga terkenal dengan orang-orang yang ramah lagi santun dalam berbicara dan bersikap baik sesama maupun dengan yang beda usia. Maka tak heran jika banyak yang jatuh cinta dengannya ketika sudah mengenal semua tentang Minangkabau.
Selain terkenal dengan Adat dan ramahnya minangkabau juga tidak kalah dengan keelokan paras gadis-gadisnya seolah menarik hati untuk ingin berkenalan dengan minangkabau lebih jauh. setelah melewati beberapa pekan tinggal disalah satu desa kabupaten Agam ada hal-hal baru yang tidak ditemui di ibu kota Sumatera Barat namun lebih banyak di pedesan yang jauh dari kota. Disinilah awal mengenal sejatinya Minangkabau.
17 Juli 2018 adalah mula-mula menikmati dinginnya embun pagi. Diawali dengan seduhan kopi hitam sambil menatap satu persatu raut wajah penghuni desa. Mereka seakan menyambut baik sapaan pertama si pendatang. Tak jarang mereka balas sapaan dengan beberapa pertanyaan seakan senang melihat wajah-wajah baru di sekitar rumah mereka.
Hari-hari berlalu kulitku masih belum bisa menyatu dengan dingin, semua aktifitas dimanjakan oleh cuaca yang tidak biasa. Tak jarang si pendatang-pendatang itu larut dalam belayan kehangatan mentari pagi untuk membakar raga yang membeku setelah melalui malam yang juga turut membuat kaku.
Pagi Ke-5 sekitar pukul 8.30 Wib masih dalam rasa dingin yang sama sambil berjalan-jalan di sekitar desa mataku tertuju kepada bapak tua yang sedang asik menata tanaman di sekitar rumahnya. Terlihat jelas dari wajah keriputnya turut memberikan senyuman terbaiknya seraya bertanya yang hampir tak berbeda dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah-sudah oleh orang lain sebelumnya. Dengan wajah yang penuh harap si pendatang seolah-olah ingin mendapatkan utaian kata-kata dari penghuni kaki gunung merapi itu tentang bagaimana masyarakat disini.
Awalnya si pendatang memulai dengan menyalami tangan sang bapak itu sambil membantu mengais tanah-tanah untuk ditanami bermacam tanaman. "Dari mana asal nak?" tanya sang bapak tanpa basa-basi. "Dari Padang pak" jawab temanku. Istirahat sejenak dari pekerjaannya lalu bapak itu mengajak si pendatang duduk di pondok kecil tempat biasa dia istirahat. "ini nak minum kopi" tawar bapak sambil menuangkan kopi ke dalam gelas.
"beginilah kebiasaan bapak setiap hari, rata-rata disini orangnya lebih senang bercocok tanam" katanya. Singkat cerita sambil berbincang-bincang sang bapak sepontan saja memberikan nasihat "disini yang terpenting kita bisa bergaul dengan segala usia, dimana pun dan dengan siapapun itu. Kalian tidak lama tapi harus bisa mencari keluarga untuk tempat kembali pulang kesini suatu saat nanti."
Dalam nasihat itu, bapak berkulit sao matang ini seakan menjelaskan makna dari pepatah minang "tau kato malereng, tau kato menurun, tau kato mendaki." sudah biasa mendengar pematah ini namun ketika dihadapkan dengan masyarakat dari berbagai kalangan selama satu bulan lebih membuat aku lebih paham penjelasan bapak ini dan harus mempraktekkannya disini.
Sangat banyak kegiatan-kegiatan adat dan teradisi minang yang baru saja aku ketahui seperti membaca pasambahan, memainkan alat musik tradisional (tambuah) dan lain-lain.
Kekentalan Adat minangkabau itu memang sangat terlihat jelas dimasyarakat yang ada di pedesaan. Berbeda dengan di ibu kota sumatera barat, adat budayanya sudah mulai terkikis seiring perkembangan zaman dan sangat rentan dipengaruhi oleh gaya-gaya barat dan pendatang dari luar minangkabau
Buah dari separuh perjalanan ini seolah ingin memberikan kesimpulan jika tertarik dengan suatu daerah atau ingin belajar budayanya maka kenalilah masyarakatnya terutama dengan mengunjungi daerah pedesaan suatu wilayah bukan hanya mempelajari di Perkotaan ataupun di lingkungan Akademi saja.