Lihat ke Halaman Asli

Paskah: Sukacita Yang Tidak terekam Media

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Libur panjang lagi? Saya baru tahu ketika seorang teman mengirim pesan singkat dan memberitahukan bahwa Jumat tanggal 6 April libur. Libur? Saya benar-benar tidak tahu. Malah saya dengan pedenya janjian dengan teman untuk berjumpa di perpustakaan fakultas hari Jumat pagi. Lalu saya googling dan menemukan bahwa tanggal 6 April adalah libur memperingati Wafatnya Yesus Kristus dan berlanjut dengan Hari Raya Paskah pada hari Minggu tanggal 8 April. Oooh. Hehe, saya berasa hidup di gua saja. Saya memang tidak punya kalender dan hanya google yang dapat saya andalkan. Syukurlah teman saya sms. Kalau tidak, dengan pedenya saya pasti berangkat ke kampus dan mendapati kampus kosong melompong.

Karena saya tidak merayakan Paskah, saya menghabiskan libur dengan membaca, mengakses internet dan sesekali menonton TV. Banyak berita tentang Paskah, di TV maupun di internet. Tentu saja. Namun, entah ini hanya perasaan saya saja atau memang demikian adanya, kalau diamati berita-berita media massa terkesan menitikberatkan pada persoalan keamanan dan agak berlebihan. Separah itukah kondisi keamanan saat Paskah?

Bukan bermaksud membandingkan, saya coba mengingat saat-saat Idul Fitri atau Hari Raya lain seperti Nyepi yang baru saja lewat. Pemberitaan tentang keamanan memang ada, tapi tidak begitu-begitu amat. Pemberitaan lebih mengarah pada proses ibadah yang berlangsung dan momen-momen unik lain yang terekam. Berbeda dengan Hari Raya umat Nasrani. Pada saat Natal, misalnya, pasti Anda dengan mudah menemukan stasiun TV sibuk menugaskan reporter mereka untuk melaporkan pengamanan secara langsung dari gereja-gereja. Tidak jauh berbeda dengan Natal, Paskah dan momen-momen sakral yang menyertainya juga bernasib sama. Tayangan berita TV mana yang tidak menyiarkan live report pengamanan gereja? Dan tidak hanya media elektronik, di internet pun bisa dijumpai pemberitaan serupa. Misalnya saja berita-berita berikut.

http://www.antaranews.com/berita/304966/500-personel-polrestabes-semarang-amankan-perayaan-paskah

http://makassar.tribunnews.com/2012/04/05/malam-paskah-di-makassar-dijaga-polisi-dan-tentara

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=300722

http://www.solopos.com/2012/sukoharjo/pengamanan-paskah-polres-siap-geledah-orang-mencurigakan-176547

http://www.mediaindonesia.com/read/2012/04/05/310956/126/101/Polda-Riau-Siaga-Pengamanan-Paskah

Berita-berita di atas – yang hanya segelintir contoh saja – selalu berkutat dengan situasi keamanan terakhir, jumlah petugas kepolisian yang diturunkan, durasi pengamanan dan tetek bengek pengamanan lainnya.

Saya menjadi semakin tergelitik untuk mengamati fenomena ini ketika seorang kawan lama saya, seorang Nasrani, menulis (lebih tepatnya curhat) pada akun jejaring sosialnya seperti berikut.

Pernahkah anda sadari setiap perayaan Paskah dan Natal, blow up media selalu mengenai pengamanan, pengamanan, dan pengamanan...Padahal lepas dari itu sungguh ada kesukaan yang tak terhingga pada setiap Paskah dan Natal yang tak terblow up...

Setelah saya pikir-pikir, pernyataan kawan saya tersebut benar. Pemberitaan pengamanan yang berlebihan oleh media saat Paskah seolah memberi kesan bahwa umat Nasrani merayakan Hari Raya di bawah bayang-bayang rasa takut. Padahal, setidaknya menurut pengakuan teman saya, yang hadir adalah rasa sukacita yang tidak terhingga, yang acapkali terlewatkan oleh media.

Menurut saya Hari Raya keagamaan adalah hari yang sakral, yang dimaknai mendalam oleh masing-masing yang merayakan. Saat saya merayakan hari kegamaan tertentu, saya ikut larut khusyuk dalam suasana. Saat tidak merayakan, saya bertoleransi terhadap mereka yang merayakan dan tidak mengusik mereka. Tidak perlu merasa hari keagamaan kita paling hebat dan mengganggu hari keagamaan lain. Tuhan saja Maha Pengasih, mengapa makhlukNya begitu kasar dan egois?

Dan ketika dalam suasana Hari Raya (apapun), yang ingin saya lihat adalah hikmat yang tersaji. Memang beberapa peristiwa lampau menjadikan trauma tersendiri (maaf jika saya sok tahu), tapi tidak menjadi pembenaran bagi media untuk memanfaatkannya (blow up) demi meraih rating. Tapi itulah media. Lebay dan latah. Yang satu mulai berlebihan, yang lainnya ikut-ikutan. Karena kalau tidak lebay dan tidak ikut-ikutan, tidak laku. Dibandingkan meliput sukacita umat, lebih baik meliput ketakutan, yang lebih menjanjikan untuk “dijual”. Ya, saya memang tidak paham betul soal media, tapi saya sudah jengah. Makanya saya cukup malas menonton TV jika acaranya seragam semua (beritanya itu-itu saja) atau sudah berisi pengalihan-pengalihan isu (berita tentang Tomcat, misalnya, menurut saya). Ah, saya jadi melantur kemana-mana.

Well, tulisan ini memang tidak saya maksudkan untuk membahas yang berat-berat. Otak saya tidak sampai, jadi saya sadar diri dan tidak sok kritis. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk memaknai hari keagamaan sesuai hakikatnya, tanpa membatasi agama apa, agar suasana keagamaan tidak ternodai dengan pemberitaan tidak perlu yang dilakukan secara berlebihan. Seandainya saja saya menjadi pimpinan di divisi berita di stasiun TV, saya akan menugaskan para reporter untuk live report penjualan tiket konser Super Junior. Lebih asyik untuk diberitakan secara berlebihan. (Tidak ada salahnya kan berandai-andai, hehehe).

Yang jelas, bagi siapapun yang merayakan Hari Raya, semoga selalu dilindungi dan Hari Rayanya berjalan hikmat. Bagi yang tidak merayakan, menikmati liburan sah-sah saja, selama tidak mengganggu yang sedang beribadah. Hidup berdampingan tanpa saling mengusik itu asik.

Salam :)

P.S : Maaf jika ada yang tidak berkenan dengan tulisan saya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline