Ada yang menarik saat saya mengunjungi situs PSI.id, media resmi Partai Solidaritas Indonesia. Partai yang populer dengan sekumpulan anak-anak muda berbakat.
Bukan tanpa alasan saat saya membuka laman PSI id. Paling tidak karena memang dari pertama kemunculan partai berlambang tangan menggenggam sekuntum mawar putih tersebut, ada ketertarikan dalam diri saya untuk bisa mengenal lebih jauh. Alhamdulillah, beberapa waktu belakangan takdir menuntun saya untuk bisa bersentuhan langsung dengan bro bro dan sis sis PSI.
Laksana seorang kekasih yang menemukan pujaan hati setelah sekian lama terkungkung rindu. Saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyelami wajah PSI lebih dekat lagi. Di sini ketertarikan, simpati, yang lama tersimpan menemukan muaranya. Hingga semua itu kemudian berkamuflase menjadi sebuah harapan, harapan masa depan yang selama ini diimpikan banyak orang; tentang tatanan kehidupan berbangsa, bermasyarakat yang penuh kedamaian, penuh kerukunan. Tatanan kehidupan berbangsa yang sejatinya pernah diajarkan nabi besar Muhammad S.A.W, yakni terbentuknya negara baldatun thoyibatun wa rabbun ghafur.
Apa yang menarik? Apa yang membuat saya harus berpikir bahwa PSI adalah partai yang sedang berusaha mewujudkan tatanan masyarakat seperti yang diajarkan Rasulullah?
Trilogi PSI. Ya, trilogi PSI dalam pembacaan saya adalah tiga pilar penopang perjuangan dan gerak anak-anak muda Indonesia yang mulai muak dengan kondisi bangsa ini dalam beberapa dekade terahir. Trilogi PSI adalah sebuah bentuk akumulasi pemikiran kaum muda sekaligus merupakan hasil perenungan dan pembacaan terhadap realitas kehidupan yang selama ini ada di sekitar kita. Realitas kehidupan yang sejatinya adalah citra dasar bangsa besar ini, namun mulai terkikis dan pudar akibat budaya berpolitik yang kian hari kian kehilangan ruh kemanusiaan selain hanya sekadar berlomba-lomba merengkuh kekuasaan.
Pilar pertama, Menebar Kebajikan. PSI pada gilirannya mencoba mengambil peran orang tua-tua yang mulai lupa pada jati diri bangsanya.
Beberapa waktu terahir kita disuguhi ragam drama kehidupan yang mengoyak-koyak nilai kebajikan. Dalam ranah sosial, kerapkali kita menjumpai ketimpangan di mana-mana, kerapkali kita menemukan hilangnya empati pada sesama. Terutama saat itu berhubungan dengan keyakinan kita. Lebih ironis lagi, kadang alih-alih kita menebarkan kebajikan atas nama keyakinan malah menciptakan keburukan, kejahatan, pada sesama.
Dalam ranah politik, hukum. Nilai-nilai kebajikan pun semakin kehilangan eksistensinya; gerakan politik identitas, feodalisme, pada gilirannya adalah Anasir-anasir negatif yang merusak tatanan berbangsa yang penuh keragaman. Hukum tebang pilih, dan jauh dari keberpihakan terhadap sebuah kebenaran rasanya adalah pelengkap bagi perusak nilai-nilai kebajikan.
Menebar kebajikan di negeri yang dihuni ratusan suku bangsa dengan adat istiadat, bahasa, dan budayanya masing-masing tentu tidak akan tercapai bila kita tidak bisa memahami sebuah keragaman. Karenanya, PSI menjadikan semangat Merawat Keragaman sebagai pilar kedua dalam gerak perjuangannya.
Anak-anak muda PSI saya rasa sangat mengerti dan menyadari bahwa bangsa besar ini tidak akan pernah ada tanpa upaya dan perjuangan semua elemen bangsa yang berbeda-beda suku. Bahwa bangsa ini bisa kokoh berdiri hingga saat ini tentu adalah karena kerjasama yang terbangun dengan baik oleh para founding father lengkap dengan ragam latar belakang dan budaya mereka. Untuk itu, merawat keragaman bukan hanya demi sebuah artikulasi menebar kebajikan, namun lebih dari itu adalah bentuk ikhtiar untuk menjaga bangsa ini agar terus ada dan semakin mantap menapaki tangga-tangga kemajuan.
Lalu bagaimana agar keragaman tersebut bisa terus terawat, terjaga dengan baik. Bagaimana agar anak-anak bangsa bisa saling menghargai sebuah perbedaan? Bagaimana agar bangsa ini bisa terus fokus membangun diri demi sebuah cita-cita terbentuknya negara maju, negara yang subur makmur, gemah Ripah loh jinawi? Solidaritas!