Lihat ke Halaman Asli

Ikmal Maulana

Mahasiswa S1 Fisika Universitas Airlangga

Menyelami Sang Pawang Hujan dalam Ilmu Sains

Diperbarui: 9 April 2022   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi Mbak Rara saat menjadi pawang hujan di MotoGP Mandalika /Instagram raraistiatiwulandari 

Baru-baru ini dunia dihebohkan dengan adanya kehadiran pawang hujan di ajang balapan kelas dunia yang diadakan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kehadiran sosok pawang hujan tersebut menimbulkan pro dan kontra bagi masyarakat Indonesia. Rara Istiani Wulandari, perempuan asal Jayapura yang disewa sebagai pawang hujan untuk acara Moto GP Sirkuit Mandalika berhasil mencuri perhatian banyak orang, ia tidak hanya mendapat sorotan dari masyarakat negeri ini, tetapi masyarakat internasional juga menaruh perhatian kepada wanita berusia 39 tahun ini.

Banyak yang beranggapan bahwa kehadiran pawang hujan tersebut mempermalukan Indonesia. Padahal jika dilihat dari segi keunikan, negara lain tidak ada yang mempunyai budaya seperti itu. Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari ribuan pulau yang dihuni oleh jutaan orang dengan latar belakang yang berbeda, baik itu adat, budaya, agama, kepercayaan, bahasa, ras, dan lain-lain. Semua perbedaan tersebut dibungkus dalam sebuah wadah kebangsaan, yaitu Indonesia. Tradisi memakai pawang hujan untuk acara spesial adalah salah satu tradisi dari (beberapa) daerah di Indonesia yang memperkaya khazanah ragam budaya Indonesia dan mempertegas bahwa negara ini adalah negara kebhinekaan dalam sebuah kesatuan.

Namun, jika dikaitkan dengan sains, kemampuan pawang hujan dalam menghentikan atau mengusir hujan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Rara mengklaim bahwa dirinya bisa menangkap suara kode alam yang berasal dari hujan yang tidak bisa didengar oleh 'manusia biasa' karena gelombang suara kode alam tersebut berupa gelombang dengan frekuensi beta. Lalu, ketika sedang menjalankan tugasnya, Rara akan berseru kepada hujan agar segera berhenti atau berpindah ke area lain. Mekanisme kerja pawang hujan yang seperti ini belum bisa dibuktikan secara ilmiah.

Jika ditilik kembali apa yang menyebabkan hujan berhenti adalah adanya Teknik Modifikasi Cuaca (TMC) yang dilakukan oleh TNI Angkatan Udara (AU) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan media pesawat Cassa 212-200 yang dilaksanakan jauh hari sebelum perhelatan Moto GP Sirkuit Mandalika. Cara kerja TMC ini adalah dengan cara menyemai awan buatan yang akan menghasilkan hujan di atas laut sehingga bisa menahan hujan yang turun di daerah tertentu. Dalam melaksanakan tugasnya, TNI AU dan BRIN juga bekerja sama dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) yang memprediksi cuaca sehingga langkah efektif dan efisien bisa diambil untuk acara besar kenegaraan yang berskala internasional ini.

Jadi, ada baiknya untuk menjernihkan hati dan pikiran dalam menanggapi eksistensi pawang hujan di acara MOTO GP baru-baru ini. Meskipun ilmu pawang hujan bersifat pseudosains, tapi keberadaannya merupakan salah satu bukti kekayaaan budaya Indonesia. Sebagai warga negara yang baik, kita harus bisa memahami dan melaksanakan prinsip bhinneka tunggal ika karena keberagaman itulah yang menjadi jati diri bangsa ini dan menjadi pembeda dengan bangsa lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline