Stoikisme merupakan sebuah aliran filsafat kuno yang muncul pada periode Yunani kuno. Jika dilansir dalam Kamus Filsafat Cambridge, perkembangan Filsafat stoikisme dibagi menjadi tiga berdasarkan tokoh setiap periodenya. Pertama adalah Stoa Awal, terdiri dari Zeno (334--262 SM), Chrisipus (280--206 SM), dan Cleanthes (331--232 SM), kedua adalah Middle Stoicsm, dikembangkan oleh Panaetius (185--110 SM) dan Posidonius (135--50 SM) dari Rhodes, dan yang terakhir adalah Stoa Akhir atau Stoa Romawi (Roman Stoicsm) terdapat Cicero (106 SM-43 M), Seneca Muda (1--65M), Epictetus (55--135M), dan Marcus Aurelius (121--180M).
Melihat dari kelahirannya, Filasafat Stoikisme terbilang cukup kuno. Namun, perkataan para Stoa terdahulu sering dikutip dan bermunculan di media sosial saat ini. Sebagian penyebabnya adalah penulis internasional seperti Ryan Holiday, Massimo Pigliucci, dan Brigid Delaney dari Australia. Setiap penulis memiliki pendekatan unik terhadap Stoikisme. Holiday, seorang mantan eksekutif pemasaran untuk American Apparel, menekankan pada empat kebajikan Stoisisme: keberanian, kesederhanaan (atau moderasi), keadilan, dan kebijaksanaan. Pigliucci, seorang akademisi yang tinggal di New York, tertarik pada praktik-praktik Stoikisme. Sementara itu, Delaney, seorang jurnalis dan penulis buku "Reasons not to Worry: How to be Stoic in Chaotic Times," mencari kerangka kerja untuk menavigasi kehidupan.
Luar biasa ketika melihat minat masyarakat saat ini --- masyarakat Indonesia yang mempelajari Filsafat Stoikisme, terlebih munculnya sebuah buku yang sering dikaitkan dengan 'Filsafat' Stoikisme di Indonesia seperti "Filosofi Teras" karya Henry Manampiring yang sukses membangkitkan semangat berfilsafat masyarakat Indonesia.
Namun, terdapat beberapa masalah yang ada pada Stoikisme, baik dalam versinya yang kuno maupun modern. Berikut adalah beberapa permasalahan yang ada di dalam aliran Filsafat Stoikisme
1. Dikotomi of Control
Salah satu aspek yang paling penting dan berguna dari Stoikisme adalah apa yang disebut "dikotomi kontrol". Dikotomi kontrol merupakan suatu pemahaman yang memberikan pandangan dimana ada sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan dan ada sesuatu yang bisa kita kendalikan. Pada Stoikisme, kebahagiaan hanya dapat tercapai ketika focus kepada hal-hal yang dapat dikendalikan tanpa mempedulikan sesuatu yang tidak dapat dikendalikan.
Pada dikotomi kontrol, Stoa membagi sesuatu hal menjadi dua, yang dapat dikendalikan (hanyalah respon kita dalam memandang dunia) dan yang tidak dapat dikendalikan (semua hal yang diluar kita). Sesuatu hal yang dapat di kendalikan dibagi lagi menjadi tiga oleh Daley, antara lain reaksi kita, karakter kita, dan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Melakukan kegiatan lain dianggap membuang-buang waktu.
Dikotomi kontrol menjadi masalah yang pertama, sejatinya ada banyak hal yang bisa di kendalikan di dunia ini. Kita bisa mengendalikan kendaraan kita untuk melaju lebih kencang, kita bisa mengendalikan air agar mendidih dan membeku. Selain itu, kita juga bisa mengendalikan orang lain. Saat anak kecil tidak mau menuruti orangtuanya, berikan saja apa yang anak kecil mau, maka dia akan menuruti apa yang diperintahkan.
Permasalahan dikotomi kontrol membawa kita kepada kepasifan. Jika kita hanya berfokus kepada apa yang dikatakan oleh Stoikisme mengenai reaksi, karakter, dan tindakan kita, serta tidak mempedulikan hal-hal diluar diri, maka akan terjadi ke-pasifan dalam menghadapi masalah-masalah besar seperti krisis iklim, kesenjangan sosial, dan masalah-masalah lainnya.
Lucu rasanya jika banyak tokoh terkenal menganut dikotomi kontrol, seperti seorang perumus hukum gravitasi --- Isaac Newton. Ketika apel jatuh menghantam kepalanya, yang ia lakukan hanyalah menganggap itu semua diluar kendali dan melanjutkan duduk dibawah pohon menunggu apel lain menjatuhi dirinya.
2. Ketakutan terhadap emosi