Ramadan tiba dengan sepucuk harapan dan kebersamaan di desaku. Di sini, di penghujung hari yang panjang dan diam yang menenangkan, terdapat kebiasaan yang menghangatkan hati dan membahagiakan lidah. Perkenalkan: Jaburan, minuman penutup yang manis menjadi ikon bulan puasa di kampung halamanku, Guntur Geni.
Ritual ini begitu sederhana, tapi menyentuh: setiap hari, rumah yang mendapat giliran membuat minuman ini akan bernostalgia dengan tradisi leluhur di dapur mereka, meracik Jaburan, untuk menjamu semua jamaah usai melaksanakan ibadah sholat tarawih. Di hari yang indah ini, aku ingin jadi bagian dari ini semua, mewarisi tradisi sekaligus menyelami kedalaman maknanya.
Ikatan dalam Seteguk Minuman Manis
Aku merasakan kehangatan yang sama saat tangan-tangan terampil menyiapkan Jaburan, seolah ada pesan tersembunyi dalam setiap siraman santan dan setiap irisan pisang yang dipilih. Membuatnya bukan sekadar tugas, melainkan bentuk dari kepedulian dan kerukunan yang dibagi dengan segala kerendahhatian untuk dinikmati bersama-sama.
Seni Membuat Minuman Tradisional
Adalah sebuah kehormatan dan tanggung jawab bagiku untuk meracik Jaburan. Aku memilih bahan-bahan dengan hati-hati: santan kental yang gurih, gula merah yang memberi kehangatan, dan campuran isian yang selalu bervariasi; dari pisang yang matang sempurna, tape singkong yang manis lembut, hingga cincau yang menambah tekstur unik.
Cerita di Balik Tiap Bahan
Bahan-bahan Jaburan tidak semata memberi rasa; mereka adalah narasi. Pisang bercerita tentang sore-sore petani yang memanennya dengan penuh cinta; tape singkong mengingatkanku pada seorang bapak yang menanam umbi ini dan difermentasi dalam waktu yang pas, juga cincau mengingatkanku pada tangan pedagang yang terampil memotong gelatinan hitam itu menjadi potongan sempurna.
Tradisi yang Mengalir