Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Farissa

Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

Kisah Kali Ciliwung, Bagai Got Raksasa di Kampung Besar

Diperbarui: 14 September 2019   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: www.beritajakarta.id

Sebelum menceritakan kisah Kali atau Sungai Ciliwung, ada baiknya kita mengetahui beberapa fakta tentang air yang menakjubkan yang saya kutip dari berbagai sumber.

  1. Air merupakan material pokok/kebutuhan bagi semua makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan hingga jasad renik). Tiada kehidupan tanpa ketersediaan air di muka bumi ini.
  2. 70 persen dari seluruh permukaan bumi ditempati oleh material air lho rekan-rekan Kompasianer.
  3. Air bersih mengisi 60 persen dari cairan yang ada di tubuh kita (manusia), manfaat buat kesehatan juga seabrek, seperti peramping pinggang, penyelamat ginjal, penghenti pening, hingga penahan kekuatan dan lain-lain.

Sebegitu penting dan menakjubkannya air, sampai-sampai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Hari Air Sedunia atau World Water Day yang dilaksanakan atau diperingati setiap tangal 22 Maret di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Hari Air Sedunia ini membuktikan, banyak orang yang menyadari begitu pentingnya air bagi kehidupan. Untuk Tahun 2019 ini, tema Hari Air Sedunia yang telah ditetapkan oleh PBB yaitu "Water for All, Leaving No One Behind" (Air untuk Semua, Tidak Meninggalkan Siapa pun di Belakang).

www.timesindonesia.co.id

Tapi ironisnya, walau air untuk semua, namun tidak banyak yang memahami jika air yang dapat dimanfaatkan oleh manusia jumlahnya sangat terbatas dan air bersih tidak terkelola dengan baik, sehingga banyak (jutaan) orang masih hidup tanpa air bersih. Seperti ingatan kisah miris yang terjadi pada Kali Ciliwung Jakarta di suatu siang.

Di siang hari yang cerah, metromini yang saya tumpangi merayap di antara kemacetan Jakarta. Dalam kesumpekan yang gerah, tampak pemandangan Ciliwung yang keruh, kotor lagi terkesan jorok. Pikiran saya pun terngiang apa yang saya ketahui dan baca tentang sejarah Batavia dulu. Dimana seorang penulis Belanda pada awal abad 20 pernah melukiskan betapa segar dan jernihnya air Ciliwung melintasi Pasar Baru. 

Dahulu, Ciliwung begitu bersih dan jernih, berbagai aktivitas dilakukan di sini, mulai dari keperluan rumah tangga sehari-hari hingga jalur perdagangan internasional. Bahkan jadi sumber air minum orang Belanda di Betawi (foto:Tribuntravel.com)

Masyarakat Batavia menorehkan kebanggaan ihwal jernihnya air sungai ciliwung, anak-anak menghabiskan waktu dengan berenang, para lelaki yang gemar  memancing dan para wanita mengambil air sungai untuk dimasak, bahkan ada yang langsung meminumnya. Namun kebanggaan dan pemandangan itu tak dapat ditemukan lagi. Sekarang anak-anak malah nyinyir berkomentar, "Nggak ah, malas main-main di CIliwung, masyak air jorok begitu dipakai berenang". Warga juga tak sudi mengonsumsi ikan-ikan yang diketahui mereka berasal dari Kali Ciliwung. Sunguh sayang, sungguh malang, sungai yang pernah menjadi kebanggaan masyarakat Betavia/Betawi di masa lalu itu, kini bagai got raksasa di kampung besar.

Ciliwung tidak lagi berada dalam keaadaan alamiahnya yang mendatangkan kesegaran, kesejukan dan kejernihan ketika dipandang, disentuh hingga diminum. Sungguh menyedihkan, "Ciliwungku Sayang Ciliwung Malang".

Bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai Jakarta saat ini (foto.kompas.com).

Tumpukan sampah/limbah di Sungai Ciliwung, Manggarai Jakarta (foto.kompas.com).

***

Bebarapa tahun terakhir hingga saat ini, memang kondisi air di Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan data hasil pemantauan Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (Pusarpedal) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Lingkungan Hidup di seluruh Indonesia dari tahun 2010-2019, kualitas air sungai-sungai besar dalam kondisi tercemar berat karena banyaknya aktivitas industri yang tidak memiliki tempat pengolahan air limbah di sepanjang daerah pengairan sungai atau Daerah Aliran Sungai (DAS). Seperti kisah Sungai Ciliwung, sungai terpanjang dan terbesar di Jakarta, kondisinya kini kian menyedihkan. Sungai yang membelah Jakarta dari arah selatan ke utara tersebut, tercemar berat oleh buangan limbah industri, rumah tangga, pertanian dan lain-lain. Padahal air sungai Ciliwung selama abad 20 bahkan kini menjadi bahan baku air minum warga Jakarta, terutama masyarakat miskin perkotaan yang mendiami sekitar bantaran Ciliwung.

Dari pantauan tim Program Kali Bersih (Prokasih) di Jakarta, diketahui, setidaknya ada puluhah hingga ratusan perusahaan yang menggunakan "jasa" Kali Ciliwung sebagai wadah penampungan sampah/limbah mereka. Dapat dipastikan banyak dari ratusan perusahaan itu yang menggelontorkan limbah mereka tanpa melalui proses pengolahan limbah. Artinya, limbah tersebut keluar dan langsung mencebur ke kali Ciliwung tanpa lewat saringan apapun. Limbah inilah yang membuat pencemaran Kali Ciliwungi dari waktu ke waktu semakin parah.

Demikian pula yang terjadi pada sungai-sungai lain yang mengalir di ibu kota Jakarta. Dari penelitian Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, setidaknya ada 13 sungai yang mengalir melewati ibu kota dan semuanya sudah tercemar bakteri Escherchia coli (E-coli). Kadar bakteri E-coli pada sungai Ciliwung mencapai 1,6 - 3 juta individu per 100 cc, jauh di atas baku mutu (2.000 individu per 100 cc). Disamping itu, Bakteri yang berasal dari sampah organik dan tinja manusia ini juga mencemari sekitar 70 persen tanah ibu kota. Tentu ini fakta yang memprihatinkan mengingat sungai ini menjadi bahan baku air minum di Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline