Lihat ke Halaman Asli

Pertanian Selaras Alam Sebagai Solusi Ketahanan Pangan

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Opini, Oleh :

Ikhwal Pembayun, Praktisi Pertanian Selaras Alam

Ketahanan pangan telah menjadi isu global selama dua dekade ini termasuk di Indonesia. Disebutkan di dalam Undang-Undang No 7 tahun 1996 bahwa “Ketahananpangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Berdasarkan definisi tersebut, terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sasaran ketahanan pangan di Indonesia. Oleh karenanya, pemantapan ketahanan pangan dapat dimulai melalui peran aktif setiap rumah tangga dengan melakukan ataupun terlibat kedalam kegiatan Pertanian.

Beberapa bulan yang lalu ketika Kabinet Kerja dibentuk, Presiden Joko widodo menginginkan tercipta swasembada pangan terutama beras, kedelai dan jagung pada tahun 2017. Usaha mewujudkan mimpi besar ini tentu membutuhkan kerja keras jajaran eksekutif dan seluruh rakyat Indonesia mengingat betapa banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan. Pekerjaan-pekerjaan besar tersebut antara lain pembangunan infrastruktur pertanian, sarana produksi yang merata dan pengembangan IPTEK untuk menunjang sistem prosuksi agar dihasilkan produk pangan berkualitas, baik mutunya, aman dan terjangkau.

Dewasa ini, konsumsi pangan kita masih didominasi oleh pasokan pangan impor dari luar negeri. Tempe goreng yang nikmat kita makan, kian hari makin menambah cadangan devisa Negara lain. Kedelai, Jagung, dan sesekali kita mendengar pemerintah mengimpor beras menjadi bukti Kedaulatan pangan tidak dimiliki Negara ini karena lemahnya ketahanan pangan. Oleh sebab itu, itikad baik Sang Presiden dengan mencanangkan swasembada pangan 2017 wajib didukung sepenuhnya sehingga suatu saat Indonesia mampu menjadi contoh sebagai Negara Agraris Sejati di Kawasan ASEAN bahwan di Dunia.

Permasalahan pertanian Indonesia sangatlah kompleks untuk dapat diurai. Sejak pemerintahan orde baru menerapkan Revolusi Hijau, dunia disilaukan oleh peningkatan drastis produksi pangan kita yang hanya berlangsung sesaat. Akibat revolusi itu, sisi negatif mulai muncul. Biaya produksi pangan melonjak naik. Petani harus membeli bahan bakar untuk traktornya, pupuk kimia dan benih hibrida yang belum pernah teruji daya adaptasinya dari Sabang sampai Merauke. Mekanisasi pertanian menyingkirkan peran hewan ternak pembajak sawah yang jelas lebih hemat biaya operasional, ramah lingkungan dan dapat dijadikan aset tabungan. Belum lagi penggunaan berbagai macam pestisida, herbisida dan fungisida oleh Petani. Obat-obatan tersebut membunuh biota tanah, mengkritiskan tanah, meracuni lingkungan, manusia dan binatang.

Pertanian konvensional yang tidak selaras alam hanya melayani keserakahan kaum kapitalis. Bagaimana tidak, petani sengaja dibuat ketergantungan untuk senantiasa membeli bibit hibrida, pupuk kimia (non-organik) dan obat-obatan dari perusahaan multinasional. Padahal kita memiliki kemampuan untuk menggalakkan pertanian selaras alam yang ramah lingkungan dengan biaya produksi lebih minimal. Negara ini telah melahirkan banyak guru besar di bidang pangan. Kita memiliki banyak teknologi untuk sistem pertanian berkelanjutan. Sumber daya alam masih melimpah ruah tetapi belum dioptimalkan.

Sistem pertanian yang mengedepankan kerbelanjutan agroekologi dapat disebut sebagai pertanian yang selaras dengan alam. Prakteknya lebih mudah dilakukan pada lahan baru atau lahan yang belum kritis. Penggunanaan pupuk kompos, mulsa, aplikasi agen hayati dan pestisida nabati adalah beberapa teknologi tepat guna yang termasuk kedalam jenis teknologi ramah lingkungan yang dapat meningkatkan kualitas lahan pertanian. Teknologi tersebut dapat disebarluaskan sehingga diadopsi dan bermanfaat bagi masyarakat. Namun, tantangan kedepan akan semakin berat dilalui. Diperlukan ketegasan sikap bahwa bekerja bersama alam jauh lebih baik daripada melawan alam.

Sebuah pepatah asing mengatakan, “You are what you eat!” yang berarti Anda adalah apa yang Anda Konsumsi. Pada hakikatnya, kita semua menginginkan makanan yang sehat. Tidak ada yang secara sengaja menginginkan mengonsumsi makanan beracun atau obat pemberian dokter. Produksi pangan berpestisida lambat laun pasti berakibat buruk bagi kesehatan pengonsumsinya. Oleh sebab itu, kini saatnya beralih dari pertanian konvensional menuju pertanian berkelanjutan yang selaras dengan alam demi menguatkan ketahanan pangan nasional. [ Timika, 29/3/2015 ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline