Indonesia yang termasuk negara berkembang membutuhkan ketenagakerjaan demi meningkatkan perekonomian di Indonesia, banyak industri impor yang bekerja sama dengan Indonesia sehingga terjalin hubungan mutualisme antar dua belah pihak karena menyerap masyarakat pengangguran sehingga membuka lapangan kerja. Lantas apakah gerakan boikot yang berlandaskan kemanusiaan sebagai ikut serta mendukung palestina berdampak pada perekonomian di Indonesia? Atau lebih efektif dengan open donasi yang kini marak di sosial media?
Masalah HAM di Palestina dan Israel adalah isu yang sangat sensitif dan kompleks, melibatkan sejarah panjang, klaim tanah, dan hak asasi manusia yang sering dilanggar. Penyelesaian yang adil dan damai memerlukan upaya diplomatik yang gigih, penghormatan terhadap hukum internasional, dan perlindungan hak asasi manusia bagi semua pihak yang terlibat. Sejak meningkatnya konflik antara Palestina di wilayah Gaza, yang berubah menjadi tragedi peduli kemanusiaan hingga terjadi maraknya gerakan aksi pemboikotan produk berafiliasi dengan Israel yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Gerakan boikot produk Israel merupakan salah satu bentuk nyata dari nasionalisme dan solidaritas internasional masyarakat Indonesia. Meskipun menghadapi berbagai tantangan dan kritik ,gerakan ini menunjukkan komitmen kuat masyarakat Indonesia dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina. Sikap ini tidak hanya didorong oleh faktor kemanusiaan dan keagamaan, tetapi juga oleh prinsip-prinsip politik dan ideologi yang menentang segala bentuk penindasan dan kolonialisme. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina. Dalam fatwa tersebut, MUI mengimbau atau merekomendasikan masyarakat Muslim untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk pendukung Israel. Gerakan boikot ini semakin merajalela melalui media sosial, banyak yang memposting dukungan free-Palestina dengan memaparkan platform produk-produk yang berafiliasi dengan Israel. Menurut hasil kajian Litbang Kompas, produk seperti McDonald's, Starbucks, dan Unilever menjadi produk teratas perusahaan yang masuk daftar boikot tersebar dalam platform media sosial yang mendukung Israel.
Gerakan boikot ini memiliki dampak positif maupun negatif terhadap perkembangan perekonomian di Indonesia, dari dampak positifnya adalah terbukti meningkatkan penjualan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terutama disektor makanan dan minuman, masyarakat telah terbiasa menggunakan produk impor terlebih yang berafiliasi Israel kini menjadi beralih menggunakan produk lokal. Seperti, menurunnya pelanggan McDonald's dan pindah ke produk lokal seperti ayam D'besto, jadi adanya boikot memberi kesempatan bagi para pengusaha lokal untuk mengambil peluang ceruk pasar yang selama ini diisi oleh produk impor. Kemudian dampak negatif dari boikot adalah dari sumber ketenagakerjaan dan lokasi domestik, karena adanya gerakan boikot tersebut banyak tenaga kerja mengalami pengakhiran tenaga kerja (PHK) karena penurunan pendapatan perusahaan sehingga banyak lapangan kerja yang tertutup dan perpengaruh pada UMKM yang mensupply bahan pangan industri seperti ayam, kentang, cabai. Kesimpulannya, bahwa dampak boikot juga dirasakan oleh masyarakat lokal sehingga harus lebih selektif dan jeli sebelum melakukan boikot agar sasaran tujuan dari gerakan aksi boikot bisa tercapai.
Dilihat dari sisi positif dan negatifnya adanya gerakan boikot produk afiliasi Israel, menjadikan pro dan kontra masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat menilai gerakat tersebut tidak efektif dalam menghentikan penjajahan kaum zionis di Gaza, Palestina. Gerakan boikot diyakini lebih banyak merugikan masyarakat dibandingkan menolong warga gaza. Menurut gus fahrur dikutip dari Lazizmu bahwa semua masyarakat Indonesia bisa mendukung penghentian serangan Israel ke palestina dengan melakukannya sesuai kemampuan, dengan minimal doa kepada rakyat palestina, donasi, dibandingkan melakukan aksi-aksi boikot apalagi sampai demo yang justru merugikan masyarakat sendiri.
Namun dukungan dengan cara boikot dan donasi menjadi pro kontra oleh masyarakat. Menurut peneliti INDEF, Ahmad Heri Firdaus dalam BBC News Indonesia, mengatakan aksi boikot akan lebih merugikan perekonomian Indonesia dari pada Israel. Karena kebanyakan perusahaan-perusahaan Israel yang biboikot memiliki lisensi dalam negeri dengan banyak menyerap tenaga kerja dan sumber daya lokal sehingga aksi boikot terlalu memiliki risiko besar terhadap dampak yang terjadi di dalam negeri. Terlebih banyak masyarakat salah menyimpulkan maksud dari fatwa MUI yang mana hanya sebatas menghimbau untuk semaksimal mungkin menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel dengan lebel mengharamkan membeli makanan cepat saji tertentu, sampai odol, sabun cuci, dan lain-lain yang berafiliasi Israel. Dari kesalahan perspeksi tersebut cenderung banyak merugikan internal negeri sehingga sebaiknya masyarakat tidak memahami fatwa dengan sembarangan.
Mayoritas masyarakat berpendapat akan lebih bermanfaat dengan membantu palestina dengan donasi seperti menyalurkan zakat, infaq, shodaqoh dalam beberapa platform terpercaya, yang saat ini telah terbukti dengan dapat membantu menyalurkan kebutuhan hidup warga palestina seperti, makanan, obat-obatan, keperluan pribadi pasca serangan dan proyek-proyek pembangunan infrastruktur vital di palestina seperti rumah sakit dll.
Baik boikot maupun donasi memiliki peran dan dampaknya masing-masing. Seseorang yang ingin membantu bisa mempertimbangkan untuk melakukan keduanya, yaitu mendukung boikot produk Israel sebagai bentuk protes dan memberikan donasi untuk bantuan langsung kepada rakyat Palestina. Memilih cara yang tepat tergantung pada tujuan pribadi, kapasitas, dan pandangan masing-masing individu tentang cara terbaik untuk memberikan dampak positif.
Author: Farista Alfa Rizqi Maulida (2023.01.01.92706)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H