Lihat ke Halaman Asli

Ikhsan Madjido

Menulis, traveling, fotografi

Rumah Pendidikan: Suara dari Pelosok dan Harapan untuk Masa Depan

Diperbarui: 24 Januari 2025   09:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengajaran berbasis lingkungan ala guru di pelosok. Hubungkan siswa ke dunia nyata (dok. pribadi)

 "Saya membuka PMM hanya untuk mengisi kewajiban pembuatan SKP di pengelolaan kinerja, fitur lain saya tidak sempat buka," ujar Mardiana, seorang guru di daerah terpencil di Kabupaten Sigi, mengawali kisahnya tentang penggunaan Platform Merdeka Mengajar (PMM).

Kisah ini mencerminkan realitas banyak guru di pelosok Indonesia yang menghadapi tantangan besar dalam memanfaatkan teknologi pendidikan.

Mardiana mengakses PMM dari rumah temannya di kota Palu, karena jaringan internet di tempat mengajarnya baru tersedia pada Oktober 2024. Itupun dengan kualitas yang sering "lalot" --- lambat dan tidak stabil. Situasi ini membuat fitur PMM lain menjadi sekadar simbol tanpa makna nyata dalam proses belajar-mengajar.

Kini, dengan diperkenalkannya Rumah Pendidikan sebagai pengganti PMM, harapan sekaligus skeptisisme mencuat. Apakah platform baru ini benar-benar menjawab kebutuhan pendidikan, atau hanya sekadar ganti kulit dengan tambahan fitur agar terlihat berbeda? Sebuah pertanyaan yang pantas diajukan di tengah transformasi digital pendidikan di Indonesia.

Ketimpangan Digital: Tantangan Abadi di Daerah 3T

Dekrius, seorang kepala sekolah di daerah terpencil, mengungkapkan keresahannya: "PMM saja belum terlalu paham kita menggunakannya, datang lagi barang baru Rumah Pendidikan. Ini hanya menambah bingung." Ucapannya mencerminkan kebingungan banyak guru yang baru saja beradaptasi dengan PMM.

Di kota besar, sekolah-sekolah dilengkapi dengan infrastruktur modern yang memungkinkan akses penuh ke teknologi pendidikan. Namun, di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), akses internet yang stabil masih menjadi kemewahan.

Bahkan, banyak guru yang harus mencari lokasi tertentu hanya untuk sekadar terhubung. Tanpa penyelesaian atas masalah ini, Rumah Pendidikan hanya akan efektif bagi sekolah di perkotaan, meninggalkan mayoritas guru dan siswa di belakang.

Ketimpangan ini tidak hanya soal akses, tetapi juga soal kompetensi digital. Guru di daerah terpencil sering kali tidak mendapatkan pelatihan memadai dalam menggunakan platform teknologi. Akibatnya, teknologi yang seharusnya menjadi solusi malah menambah beban.

Rumah Pendidikan berambisi menjadi solusi terpadu, tetapi peluncurannya juga memunculkan risiko baru. Guru yang selama ini sudah terbebani pekerjaan administratif, tuntutan kurikulum, dan adaptasi teknologi mungkin merasa kewalahan. Jika platform baru ini memerlukan pelatihan tambahan tanpa manfaat langsung yang dirasakan dalam pembelajaran, resistensi adalah hal yang tak terhindarkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline