Generasi Alpha, yang tumbuh bersama teknologi dan media sosial, sering kali dipandang sebagai generasi yang hanya peduli dengan apa yang cepat viral.
Namun, apakah
ini benar adanya? Apakah mereka benar-benar hanya terobsesi dengan tren sesaat, atau justru menyimpan potensi untuk menggali makna di balik fenomena tersebut?Budaya viral memang memiliki daya magnet luar biasa. Ketika tren terbaru muncul di media sosial, sulit untuk tidak ikut larut. Rasa takut ketinggalan atau fear of missing out (FOMO) menjadi pendorong utama.
Dalam hitungan jam, sebuah lagu, film, atau konten lain bisa mendominasi percakapan daring, mengundang jutaan orang untuk ikut serta dalam hype.
Namun, sering kali tren ini bersifat dangkal. Musik atau film yang viral bukan selalu karena kualitasnya, melainkan karena adanya kontroversi atau gimmick yang menarik perhatian.
Lagu dengan lirik catchy hanya bertahan beberapa minggu di puncak popularitas, sementara pesan mendalam yang mungkin terkandung di dalamnya terabaikan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah Gen Alpha mampu melihat esensi di balik popularitas?
Sebelum kita buru-buru menyimpulkan, penting untuk diingat bahwa Gen Alpha memiliki kekuatan unik. Dengan akses teknologi yang luas, mereka mampu menjadikan tren sebagai alat untuk menciptakan dampak positif.
Dari gerakan lingkungan hingga kampanye sosial, budaya viral bisa menjadi media untuk menyuarakan isu-isu penting.
Misalnya, tren yang mendukung gerakan peduli lingkungan atau kesetaraan gender menunjukkan bahwa budaya viral tidak selalu bersifat dangkal. Dengan bimbingan yang tepat, Gen Alpha mampu mengubah tren menjadi alat perubahan yang bermakna.
Meski begitu, ada tantangan besar yang harus dihadapi. Ketika terlalu fokus pada apa yang viral, Gen Alpha berisiko kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan mendalami isu yang lebih kompleks.
Jika setiap tren diikuti tanpa mempertimbangkan esensinya, ada bahaya bahwa konsumsi cepat ini akan menciptakan kebiasaan dangkal.