Lihat ke Halaman Asli

Menanti Kebijakan Pemerintahan Baru Menyelamatkan BBM

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14095341002046083100

[caption id="attachment_356569" align="aligncenter" width="525" caption="sumber: jakpro.co.id"][/caption]

Isu kelangkaan BBM kembali menerpa Indonesia. Isu ini merebak setelah pemerintah melaluisurat edaran BPH Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, PT Pertamina (Persero) sebagai salah satu badan usaha penyalur BBM bersubsidi, akan mulai mengimplementasikan pembatasan BBM bersubsidi, khususnya Solar mulai 1 Agustus 2014. Kebijakan pemerintah tersebut didasari oleh UU No. 12 Tahun 2014 tentang APBN-P 2014 yang menyebutkan volume kuota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta KL menjadi 46 juta KL, sehingga untuk menjalankan amanat Undang-Undang tersebut, maka BPH Migas telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Pembatasan Solar dan Premium agar kuota 46 juta KL bisa cukup sampai dengan akhir tahun 2014.

Kebijakan pemerintah tersebut langsung mendapat respon masyarakat. Masyarakat pengguna BBM bersubsidi mulai khawatir dengan kuota BBM bersubsidi yang semakin menipis. Akibatnya mereka bgerbondong-bondong menuju ke SPBU untuk mendapatkan BBM bersubsidi dengan jumlah yang banyak untuk disimpan selama beberapa hari ke depan. Kepanikan ini akhirnya menyebabkan antrean panjang di sekitar SPBU dan beberapa SPBU pun menjadi kehabisan stok BBM bersubsidi. Inilah situasi yang disebut kelangkaan oleh sebagian masyarakat, padahal pemerintah tetap menyalurkan BBM bersubsidi secara normal, hanya saja jumlahnya yang dikurangi.

Kondisi seperti ini diperkirakan akan terus terjadi hingga akhir tahun 2014 dan tentunya akan menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang akan dilantik pada Oktober 2014 mendatang. Joko Widodo memang baru akan memerintah secara resmi menggantikan Presiden SBY pada Oktober mendatang, namun saat ini Jokowi telah membentuk tim transisi yang memiliki tugas mempersiapkan hal-hal strategis yang berkaitan dengan perencanaan 2015,mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesiapan kelembagaan di bawah presiden dan wakil presiden, misalnya pembentukan kabinet,serta mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan implementasi visi dan misi yang tertuang dalam Sembilan Program Nyata Jokowi-JK atau Nawacita.

Untuk menghadapi kondisi tersebut, ada beberapa opsi yang bisa dilakukan oleh pemerintah mendatang, diantaranya menaikkan harga BBM bersubsidi, menaikkan harga kendaraan bermotor, hingga menaikkan pajak kendaraan bermotor. Opsi pertama yang bisa dipilih pemerintahan Jokowi – JK mendatang adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga BBM bersubsidi sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh pemerintahan SBY – Boediono, tepatnya pada bulan 22 Juni 2013 silam. Saat itu pemerintah menaikkan harga premium dari Rp 4.500,- menjadi Rp 6.500,-perliter dan solar dari Rp 4.500,- menjadi Rp 5.500,- perliter. Kenaikan tersebut disebabkan karena pemerintah ingin mengurangi beban subsidi BBM yang semakin membengkak. Dengan menaikkan harga BBM,permerintah berencana menekan angka subsidi BBM dari Rp 297 triliun menjadi sekitar Rp 200 triliun. Sebagai kompensasi, pemerintah menggelontorkan BLSM sekitar Rp 9,3 triliun untuk 15,5 juta keluarga miskin. Dana tersebut akan diberikan sebesar Rp 150 ribu per keluarga per bulan selama empat bulan.

Kebijakan serupa juga bisa diambil oleh Jokowi pada awal pemerintahannya mendatang. meskipun kebijakan tersebut berpotensi mendapat halangan dari anggota DPR dan masyarakat sebagai pengguna BBM bersubsidi karena dikhawatirkan berdampak pada kenaikan harga barang di pasaran, namun jika tidak dinaikkan dikhawatirkan kuota BBM bersubsidi di tahun 2015 juga tidak mencukupi jumlah konsumsi. Namun, untuk memeperlancar kebijakan tersebut, perlu kiranya pemerintah secara serius membangun kilang minyak di Indonesia sehingga kedepan pemerintah mampu menekan harga BBM karena minyak yang diproduksi secara lokal tentu akan lebih murah daripada minyak yang dibeli dari luar negeri.

Opsi kedua bagi pemerintahan Jokowi – JK mendatang adalah dengan menaikkan harga kendaraan bermotor. Opsi ini bisa menjadi jalan keluar bagi dua permasalahan di Indonesia yakni penurunanpenggunaan kuota BBM bersubsidi serta mengurangi tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia. Laju pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia memang terbilang sangat tinggi. Data Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia mencatat, jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia pada 2013 mencapai 104,211 juta unit, naik 11 persen dari tahun 2012 sebesar 94,299 juta unit dengan rincian sepeda motor sejumlah 86,253 juta unit, mobil penumpang dengan 10,54 juta unit, dan mobil barang (truk, pikap, dan lainnya) sejumlah 5,156 juta unit. Bahkan di tahun 2014 diperkirakan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia lebih dari 115,674 juta unit.

Pertumbuhan kendaraan yang tinggi (di atas 10%) tersebut tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan raya di Indonesia. Rata-rata pertumbuhan jalan masih di bawah pertumbuhan rata-rata kendaraan, yakni hanya 3,13 persen per tahun, seperempat dari rata-rarat pertumbuhan jumlah kendaraan. Bahkan, dari tahun ke tahun, panjang jalan juga mengalami penurunan yang disebabkan oleh bencana alam. Lambatnya pertumbuhan jalan juga disebabkan oleh adanya pertimbangan ekologis karena jika terlalu banyak pembangunan jalan, akan berdampak pada kurangnya area hijauan dan lahan persawahan. Namun, jika pemerintah mengambil opsi ini, maka pemerintah baru mendatang harus bersiap menghadapi pemerintahan Presiden SBY, pasalnya belum lama ini pemerintah telah memberi izin pengeluaran mobil murah yang banyak menarik minat masyarakat. Oleh karena itu, pemerintahan baru mendatang perlu berpikir matang sebelum mengambil keputusan.

Opsi ketiga yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menaikkan pajak kendaraan bermotor Kebijakan ini merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah Singapura untuk menekan laju pertumbahan kendaraan pribadi, karena pemerintahnya menyadari bahwa Singapura adalah negara kecil yang tidak bisa menampung beban ledakan kendaraan bermotor. Jika pemerintah mendatang mengambil opsi ini, berati pemerintah juga mendapatkan dua manfaat, selain mengurangi konsumsi BBM, juga mengurangi ledakan pertumbuhan kendaraan ditengah maraknya produksi mobil murah. Namun, untuk mengambil kebijakan tersebut, pemerintah tentunya harus meningkatkan kelayakan transportasi umum. Sebagaimana kita ketahui, transportasi umum di Indonesia sangat jauh dari kata memadai, contohnya saja di Jakarta yang notabene nya ,merupakan ibukota Indonesia. Transportasi publik seperti bus dan angkot sangat jauh dari kata layak, karena mobil yang dipergunakan adalah mobil-mobil tua yang sudah seharusnya dipensiunkan. Untuk itu, jika pemerintah memang ingin mengambil opsi ketiga, maka pemerintah harus mendorong pemilik transportasi massal agar meningkatkan layanannya.

Dari ketiga opsi yang dapat diambil oleh pemerintahan berikutnya, pasti tidak ada yang memuaskan segala pihak. Oleh karena itu, pemerintah harus bersiap menerima ketidakpuasan tersebut dan menyiapkan segala konsepnya dengan matang. Masyarakat pun harusnya mengerti dengan situasi yang berkembang saat ini, bukan hanya sekedar menuntuk kemudahan dan keringanan, namun juga memikirkan kondisi perekonomian negara Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline