Lihat ke Halaman Asli

Percepat Peredaran “Kartu Sakti” di Perbatasan Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

141766706717021021

[caption id="attachment_380527" align="aligncenter" width="544" caption="Ilustrasi buruknya infrastruktur jalan di perbatasan Indonesia. (sumsel.tribunnews.com)"][/caption]

Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla yang telah memasuki usia sebulan mulai disibukkan dengan berbagai agenda pembangunan. Para menteri Kabinet Kerja pun bagaikan tidak punya waktu senggang, semuanya sibuk mengurus program kerja nyata secara cepat, mengingat program pembangunan merupakan prioritas utama dalam kepemimpinan Jokowi lima tahun ke depan.

Di tengah keseriusan pemerintah memperhatikan rakyatnya, Indonesia dihadapkan dengan permasalahan serius yang menyangkut daerah perbatasan. Sebagai negara kepulauan yang berbatasan secara langsung dengan berbagai negara lain memang membuat daerah di Indonesia rawan terkena permasalahan, khususnya masalah pencaplokan wilayah.

Di antara sejumlah negara yang berbatasan dengan Indonesia, Malaysia menjadi negara yang paling sering terlibat masalah dengan Indonesia, baik masalah klaim budaya, maupun perbatasan. Hal ini bukanlah suatu keniscayaan mengingat Indonesia dan Malaysia meupakan negara serumpun, sama-sama mengadopsi budaya Melayu. Pun begitu dengan masyarakat kedua negara yang mayoritas masih memiliki hubungan saudara.

Beberapa pekan yang lalu, terdengar isu klaim wilayah Indonesia oleh Malaysia di tiga desa di Kecamatan Lumbis Ongong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Tiga desa tersebut adalah Sumantipal, Sinapad, dan Kinokod. Klaim wilayah oleh Malaysia tersebut terjadi setelah maraknya beredar berita tentang adanya sejumlah warga negara Indonesia yang melakukan eksodus ke wilayah negara Malaysia.

Dalam diskusi yang bertajuk Nasionalisme di Perbatasan di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada 24 November 2014, Politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Lukman Edy mengatakan berbagai masalah yang menimpa daerah perbatasan Indonesia terjadi karena kondisi kesejahteraan di perbatasan Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan perbatasan negara tetangga seperti di Malaysia, akibatnya perbatasan Indonesia rawan direbut oleh negara tetangga karena tergiur dengan program kesejahteraan yang ditawarkan negara tetangga.

Selama ini bantuan pemerintah untuk wilayah perbatasan Indonesia tampaknya memang masih kurang dirasakan oleh masyarakat setempat. Hal tersebut terlihat dari pernyataan Kepala Desa Samunti, Kecamatan Lumbis Ogong, Pagalu yang menyatakan sampai saat ini pihaknya belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat maupun daerah.Kondisi seperti ini kerap membuat masyarakat di perbatasan seperti dianaktirikan oleh pemerintah negaranya sendiri, padahal masyarakat setempat merupakan Warga Negara Indonesia yang telah mendapat jaminan dari Undang-Undang Dasar 1945.

Masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan selama ini juga kerap merasa terisolasi di tempat tinggalnya karena sulitnya akses menuju ke kampung halaman dari wilayah terdekat sehingga satu-satunya solusi adalah adanya kebijakan khusus dan perhatian pemerintah berupa bantuan kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras, gula pasir, bahan bakar minyak (BBM), penerangan listrik dan telekomunikasi. Hal tersebut harus segera diperhatikan pemerintah Indonesia karena pemerintah Malaysia sangat konsen dengan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat memancing masyarakat di perbatasan untuk berpindah kewarganegaraan.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar memang pernah mengatakan masalah perbatasan sudah masuk ke dalam sembilan program kerjanya yang dinamai Nawakerja. Dengan komitmen pemerintah Indonesia sekarang, harusnya masalah perbatasan dapat teratasi, terlebih Presiden Jokowi telah mengeluarkan ‘kartu sakti’ dengan berbagai fungsi. Kartu sakti yang terdiri dari Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), serta Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dapat menjadi jawaban bagi masyarakat di wilayah perbatasan yang kerap menganggap kurangnya perhatian dari pemerintah pusat.

KIS, KIP, dan KKS merupakan tiga kartu dari pemerintah untuk membantu masyarakat. Kartu ini memiliki fungsi yang berbeda. KIS berfungsi membantu masyarakat miskin saat berobat ke rumah sakit/puskemas sehingga bisa mendapatkan layanan kesehatan secara gratis. KIP berfungsi penerima bantuan dana pendidikan bagi siswa miskin dengan cara menunjukkan kartu ke pihak sekolah, baik swasta maupun negeri sebagai pengganti biaya pendidikan. Sedangkan KKS berfungsi sebagai penanda bahwa si pemegang kartu berhak menerima bantuan uang dari pemerintah yang dapat diambil di kantor pos terdekat dengan cara menunjukkan nomor sim card yang telah dibagikan oleh pemerintah.

Ketiga kartu tersebut jika sampai ke masyarakat perbatasan tentunya akan memberikan manfaat yang begitu besar yang langsung bisa dirasakan oleh masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu memastikan agar kartu tersebut bisa digunakan oleh masyarakat di perbatasan. Untuk dapat memaksimalkan fungsi ketiga kartu tersebut, pemerintah dapat bekerja sama dengan TNI melalui program TNI Masuk Desa (TMD) guna membangun infrastuktur di wilayah perbatasan, baik puskesmas, sekolah, pasar, dan lain-lain. Dengan demikian kecintaan masyarakat di perbatasan terhadap Indonesia akan semakin tinggi, dan gangguan dari luar dapat diminimalisasi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline