Lihat ke Halaman Asli

Ikhsan Ramadhan

An ordinary man with nothing

Sekolah Unggulan, UN, dan Sekolah Bagi Siswa Miskin

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13620642571336259885

(Foto : alifiaonline.wordpress.com)

Beberapa waktu yang lalu dunia pendidikan kita ramai oleh kabar tentang dihapusnya Rintisan Sekolah Berstandar Internasional/ Sekolah Berstandar Internasional (RSBI/SBI) oleh Mahkamah Konstitusi (MK). RSBI/SBI dianggap mencederai pemerataan pendidikan. RSBI/SBI telah mendikotomikan sekolah negeri menjadi sekolah berkualitas dan sekolah tidak berkualitas. Anehnya, pemerintah justru menentukan standar kompetensi lulusan (SKL) yang sama, baik SKL di sekolah berkualitas (baca:SBI/RSBI) atau sekolah “tidak berkualitas”. Dengan alasan pemerataan pendidikan, maka sangat wajar apabila MK mengahapus RSBI/ SBI. Kualitas sekolah negeri yang berada di pedesaan dengan sekolah negeri yang berada dipemukimanmewah haruslah sama, itu amanat UUD 1945.

Sekolah negeri unggulan memang sudah ada di Indonesia jauh sebelum adanya SBI/RSBI. Di sekolah ini dikumpulkan siswa-siswa cerdas nan kaya raya dari seluruh penjuru daerah. Bak gayung bersambut,pemerintah pun sangat mendukung, yaitu dengan memberikan fasilitas pendidikan di atas rata-rata serta mengumpulkan guru-guru terbaik di sekolah tersebut.

Tak mau kalah, orang tua siswa yang merasa kaya raya memberikan fasilitas berkualitas “wah” kepada sekolah, yang sebetulnya hal ini malah seakan menjadi lampu hijau bagi pihak sekolah untuk memungut “sumbangan”mahal dari orang tua siswa, yang hanya bisa disanggupi oleh orangkaya, dengan dalih pengembangan fasilitas belajar. Dikemudian hari, kegitan tersebut dilegalkan oleh aturan penyelenggaraan RSBI/SBI.

Disadari atau tidak, hal ini merupakan bentuk halus pengusiran terhadap siswa miskin. Meskipun ia adalah siswa yang tinggalnya bertetanggaan dengan sekolah tersebut, pada akhirnya ia lebih memilih bersekolah di sekolah yang lebih jauh yang menghabiskan uang transport lebih banyak karena ketakutan untuk bersekolah di dekat rumahnya yang dianggap mahal.

Hal di atas sangat berbeda dengan sekolah negeri yang berada di pelosok daerah, yang hanyadiberi fasilitas biasa-biasa (atau malah kurang) dan jumlah guru yang seadanya (lagi, bahkan kurang). Ketimpangan kualitas pendidikan ini telah terjadi bertahun-tahun di Indonesia. Walaupun SBI/RSBI telah dihapuskan oleh MK, penulis berfikir hal ini tidak akanserta merta menghapus ketimpangan pendidikan yang telah ada di Indonesia.

Adanya ketimpangan kualitas pendidikan tidak hanya terlihat tidak adil, namun juga memicu berbagai aksi tidak sehat termasuk aksi kecurangan (?) di dunia pendidikan. Seleksi masuk sekolah negeri unggulan biasanya dilakukan dengan mengambil siswa dengan nilai UN tertinggi atau dengan seleksi tertulis yang diadakan secara mandiri di sekolah tersebut. Nah, dari sinilah awal mulaaksi tidak sehat dalam dunia pendidikan, dari mulaieksploitasi waktu belajar yang ekstrem melalui bimbingan belajar, pengurangan waktu belajar pada pelajaran yang  “tidak penting”, bahkan tindak kecurangan atau aksi tipu-menipu nilai UN (?). Lalu siapa yang bisa masuk sekolah unggulan itu? Sebagian adalah mereka yang dianugrahi kecerdasan di atas rata-rata. Namun sebagian besarnya lagi adalah mereka yang memiliki akses belajar di bimbingan belajar, mereka yang sebelumnya berasal dari sekolah mahal yang memungut siswanya untuk membeli buku dan memungut sumbangan untuk pemadatan di sekolah, serta mereka yang memiliki kemampuan untuk membeli “jawaban” (?). (penulis menggunakan tanda (?), untuk menghormati Bapak menteri yang bersikeras bahwa tidak ada kecurangan dalam UN).

Konon tahun depan untuk tingkatan SD, Ujian Nasional (UN) akan dihapuskan. Beberapa aktivis pendidikan menganggap UN sebagai biang keladi di balik semua permasalahan. Namun apakah dengan dihapuskannya UN ini akan serta merta menghapus berbagai aksi tidak sehat di dunia pendidikan? Jawaban penulis, tidak. Walaupun jika misalnya kelak UN (khususnya di SD) jadi dihapus, penulis tetap meyakini akan ada lagi tes-tes mirip UN seperti tes masuk SMP Negeri dan lain-lain yang akan menjadi bibit masalah baru. Dahulu pun pernah ada tes mirip UN yaitu EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) dan itu terbukti tidak bebas dari ketidakberesan. Begitu pun sekarang, masalah tidak akan habis ketika UN dihapus selama ada tes-tes lain yang akan menggantinya.

Salah satunya carauntuk menghilangkan semua permasalahan di atas adalah dengan menghapus sama sekali tes-tes yang hanya bersifat penilaian kognitif untuk menentukan kelulusan masuk sekolah negeri jenjang berikutnya. Biarkan siswa masuk sekolah negeri tanpa tes atau syarat akademik.

Sekolah negeri, sejatinya, adalah sekolah milik pemerintah. Sementara pemerintah sendiri wajib memberikan pendidikan yang layak bagi seluruh rakyat, tidak mengenal ia bodoh atau pintar, miskin atau kaya. Lalu, manakah yang harus lebih diprioritaskan ketika sarana dan prasarana pendidikan masih kurang seperti sekarang? Tentunya masyarakat berpenghasilan rendahlah yang harus mendapat prioritas. Berikan sekolah negeri kepada masyarakat miskin. Seleksi masuk sekolah negeri dilakukan dengan memprioritaskan siswa miskin terlebih dahulu.

Ketika sekolah negeri telah diberikan secara utuh kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Maka tidak ada lagi aksi suap orang tua pada gurunya agar mendapat nilai besar. Tidak ada lagi siswa yang membeli jawaban UN. Tidak ada lagi jalur belakang, suap-menyuap, untuk memasukan siswanya ke sekolah negeri tertentu. Tidak ada lagi pungutan “sumbangan” sekolah kepada orang tua untuk membeli fasilitas. Dan dengan sendirinya pula kualitas pendidikan di sekolah negeri sedikit demi sedikit akan merata.

Lalu bagaimana dengan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas? Doronglah para kapitalis dan swasta untuk mengurusnya. Biarkan hukum pasar bermain di sana. Siapa yang berkualitas dengan harga bersaing ia yang laku. Sehingga tidak ada lagi pihak swasta yang mendirikan sekolah dengan hanya bertujuan mengemis Bantuan Operasional Sekolah (BOS), denganfasilitas seadanya, tenaga pendidik yang tidak jelas, serta kualitas pembelajaran yang asal-asalan.

Kalau tak pantas disebut opini, sebut saja curhatan.

Cimahi, 28 Februari 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline