Lihat ke Halaman Asli

Abnormalitas Bukan Kutukan Tuhan dan “Mereka” Juga Masih Ciptaan Tuhan

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada postingan yang terdahulu telah kita bahas betapa sebuah perbedaan bukanlah suatu hal yang patut di “beda-bedakan” termasuk juga didalamnya pemaknaan dan penjelasan tentang abnormaitas yang sering di “beda-bedakan” oleh masyarakat kita.

Tidak bisa dipungkiri paradigma masyarakat saat ini sangat sensitif dan cenderung bermuara pada hal yang buruk terhadap ungkapan “abnormal”. Bahkan hal ini juga berimbas kepada “kita” yang menjadi pemerhati dan yang konsentrasi di bidang keilmuan ini. Sering sekali perilaku-perilaku yang dilakukan “mereka” yang memiliki kekurangan dan keterbatasan saja yang dianggap sebagai perilaku yang abnormal, padahal jika kita berbicara pada esensi dan makna “abnormal” sebenarnya adalah semua hal yang terkait dengan hal yang tidak bersifat pada umunya. Nah maka semua hal tanpa terkecuali yang dilakukan manusia baik yang “mengaku normal”, “diakui normal”, “mengaku tidak normal” maupun yang “diakui tidak normal” selama ia melakukan hal-hal yang tidak bersifat umum maka secara esensi jelas itu dimaksud sebagai perilaku tidak normal.

Sudah sangat jelas bahkan kita semua setuju terhadap sebuah hukum yang menjelaskan sejauh mana “kesadaran” mempengaruhi seluruh perilaku kita. Hukum peradilan juga menolak adanya hukuman terhadap pelaku yang melakukan pelanggaran pada saat tidak sadar. Bahkan kitab suci sekalipun sangat komplek menjelaskan etika menguhukum seseorang baik secara fisik maupun psikologis ketika seseorang melakukan kesalahan dan seseorang tidak dikatakan dosa ketika ia melakukan kesalahan disaat yang tidak tahu dan tidak sadar. Nah namun pemahaman baik tentang ini justru sering tidak kita gunakan disaat kita melihat fenomena perilaku abnormal yang dilakukan oleh “mereka” yang sangat jelas memiliki kekurangan dan keterbatasan pemahaman tentang sebuah perilaku yang tidak bersifat umum, mudahnya bahwa perilaku yang dilakukan orang-orang yang memeliki keterbatasan ini hakikatnya bukanlah merupakan sebuah kesalahan, karena mereka berperilaku karena memang sebenar-benarnya dalam kondisi yang tidak normal dan kekurangan, tapi yang sangat sungguh disayangkan dibanding mereka ini adalah orang orang yang mengaku dirinya sangat normal dan memiliki keutuhan secara fisik maupun mental namun melakukan hal-hal yang jelas-jelas dirinya paham bahwa itu adalah perilaku yang tidak normal, bukankah kita setuju amanah adalah hal yang harus di emban dan sangat harus dipertanggung jawabkan? Bukankah kita juga setuju bahwa seorang intelek semestinya harus bersifat intelektual? Bukankah kita juga sadar dengan sebenar-benarnya bahwa pemerintah semestinya bersifat layaknya pemimpin dan panutan? Lalu jika semua perilaku ini tidak dilakukan layaknya pemahaman pada umumnya, bukankah kita yang mengaku normal sungguh lebih hina dibandingkan dibandingkan mereka yang dianugerahkan tuhan dengan keistemewaan yang tidak kita miliki? Bukankah tingkat ketaqwaan pula yang menjadikan final score yang harus kita dapatkan dan kita perjuangkan dalam hidup ini?

Lalu nikmat tuhan mana lagi yang engkau dustai.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline