Lihat ke Halaman Asli

Pentingnya Skeptis dalam Jurnalistik dan Jurnalisme

Diperbarui: 15 Mei 2023   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jurnalistik dimaknai sebagai suatu bentuk kegiatan. Maka jika ada perusahaan atau lembaga memiliki media internal kehumasan, mereka juga melakukan kegiatan jurnalistik yaitu mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, menyajikan dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak. Hanya informasi yang disebarluaskan adalah informasi yang hanya menguntungkan dan memberi citra positif perusahaan.Contoh jurnalistik dapat berupa berita, laporan investigasi, editorial, wawancara, dan artikel lainnya.

Sementara Jurnalisme adalah suatu paham (isme) dalam kegiatan jurnalisme yang mana bertujuan untuk menyajikan informasi sebenar-benarnya (obyektif) untuk memenuhi kebutuhan informasi warga masyarakat. Dalam jurnalisme terkandung prinsip, etika dan nilai-nilai luhur menjadi seorang jurnalis.Contoh jurnalisme adalah menyebarkan berita melalui media penyiaran, seperti televisi dan radio, tujuannya untuk memberikan informasi, membangun, dan memenuhi hak rakyat kepada masyarakat agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri.


  • UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.

Contohnya untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, seperti seseorang yang menanyakan nama atau identitas dirinya

Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Contohnya seperti pencemaran nama baik seseorang wajib lapor karna pencemaren mana baik atau ada seseorang yang menjelekan namanya di depan umum.


Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak koreksi digunakan ketika seseorang atau sekelompok orang merasa terdapat kekeliruan informasi yang menyangkut dirinya atau orang lain dalam pemberitaan media, baik media cetak, media elektronik, ataupun media siber. Hak koreksi ini telah diatur oleh pemerintah dan Dewan Pers Indonesia dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Peraturan tentang hak koreksi ini dimuat dalam pasal 1, pasal 5, pasal 6, pasal 11, dan pasal 15.

Contoh seperti berita hoax yang dimana isi nya hanyalah hayalan seseorang jurnalistik atau seseorang yang menyebarkan berita tersebut dengan maksud yang tidak jelas.

ketentuan

Selain telah diatur dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, hak koreksi juga merupakan bagian dari Kode etik jurnalistik yang harus dipatuhi oleh semua wartawan dan perusahaan media. Berdasarkan pasal 5, sebuah pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Berdasarkan hal itu pula, pers dan wartawan wajib melayani hak koreksi dan hak jawab secara proporsional.


Jurnalistik atau jurnalisme, menurut Luwi Ishwara (2005), mempunyai ciri-ciri yang penting untuk kita perhatikan. Skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah tertipu. Inti dari skeptis adalah keraguan.

Mengapa jurnalis harus skeptis dan apa dampak kalau tidak skeptis

Dikarenakan setiap jurnalis harus skeptis dimana skeptis adalah keraguan atau ketidak percayaan, disetiap liputan atau mewawancarai seseorang kita harus bisa lihat situasi atau keadaan dan mencari narasumber yang cocok untuk di tanya. Jika narasumber yang memberikan informasi hoax itu akan menyebabkan ketidak percayaan masyarakat terhadap liputan dan itu akan berdampak kepada cenel liputan dan jurnalis nya sendiri juga akan dikenakan denda beserta Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline