Lihat ke Halaman Asli

Khairul Ikhsan

Selamat datang di media masa seputar perkembangan pendidikan

Saat Kecerdasan Alami Terkalahkan oleh Kecerdasan Buatan: Menghidupkan Ilmu yang Tertidur

Diperbarui: 10 Januari 2025   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto ilustrasi Kecerdasan Alami dan Buatan (Sumber: Artificial Intelligence)

Dalam era digital ini, manusia sering kali dibandingkan dengan kecerdasan buatan (AI). Otak manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk belajar, beradaptasi, dan menciptakan, sementara AI dirancang untuk memproses informasi dengan cepat dan efisien. Namun, satu hal yang membedakan keduanya secara mendasar adalah potensi manusia untuk terlibat dalam diskusi, berbagi wawasan, dan membangun hubungan emosional. Sayangnya, banyak potensi otak manusia yang tidak tergali karena pola pikir yang pasif dan minimnya interaksi yang sehat, baik di lingkungan keluarga maupun sosial.

Banyak orang memiliki ilmu yang luas, tetapi ilmu tersebut sering kali hanya menjadi pengetahuan pasif. Mereka tahu banyak hal, tetapi tidak terampil dalam mengomunikasikan atau menggunakan pengetahuan tersebut untuk membangun pemahaman bersama. Kurangnya diskusi yang konstruktif membuat ilmu ini terisolasi, tidak berkembang, dan bahkan terkadang digunakan untuk menghakimi orang lain. Dalam lingkungan seperti ini, dialog berubah menjadi monolog, dan keterbukaan untuk belajar bersama menjadi hal yang langka.

Di dalam keluarga, pola ini sering kali terlihat. Orang tua yang merasa memiliki banyak pengalaman cenderung mendominasi percakapan dengan anak-anak mereka. Mereka menganggap pengetahuan mereka mutlak benar dan menilai anak-anak sebagai "tidak tahu" atau "belum cukup pintar" ketika mereka tidak bisa menjawab pertanyaan tertentu. Padahal, anak-anak bukan tidak mampu, tetapi sering kali mereka tidak menerima pengajaran yang baik atau tidak diberi ruang untuk mengeksplorasi pikiran mereka secara bebas.

AI, di sisi lain, tidak pernah menghakimi data yang diberikan kepadanya. Ia memproses informasi sesuai program yang ada, tanpa bias emosional. Manusia, dengan segala kompleksitasnya, sering kali menggunakan ilmunya untuk membangun dinding pemisah daripada jembatan penghubung. Kebiasaan ini menciptakan lingkungan yang tidak ramah untuk belajar dan tumbuh, terutama bagi generasi muda yang seharusnya didorong untuk berpikir kritis dan kreatif.

Minimnya diskusi sehat di luar lingkungan keluarga juga menjadi masalah besar. Di tempat kerja, sekolah, atau komunitas, orang sering kali lebih fokus pada pembuktian bahwa pendapat mereka benar daripada mencari kebenaran bersama. Kebiasaan ini menciptakan budaya debat yang tidak produktif, di mana tujuan utamanya adalah menang, bukan belajar. Akibatnya, banyak orang memilih diam karena takut salah atau dihakimi, meskipun mereka memiliki potensi besar untuk berkontribusi.

Diskusi yang sehat membutuhkan kesadaran akan pentingnya mendengarkan dan menghormati sudut pandang orang lain. Dalam proses ini, ilmu tidak hanya menjadi alat untuk "menang" dalam argumen, tetapi juga menjadi jembatan untuk saling memahami. Diskusi yang baik adalah ruang di mana setiap orang, termasuk anak-anak, dapat bertanya, menjawab, dan belajar tanpa rasa takut. Ketika ilmu digunakan untuk membangun dialog, bukan menghakimi, ia menjadi lebih hidup dan bermanfaat.

AI dapat memproses data dengan kecepatan luar biasa, tetapi tidak dapat menggantikan kemampuan manusia untuk merasakan empati, berkomunikasi dengan penuh makna, dan membangun hubungan. Namun, kemampuan ini hanya bisa terwujud jika manusia membuka diri untuk berdialog. Dalam proses ini, manusia tidak hanya berbagi pengetahuan, tetapi juga tumbuh secara emosional dan intelektual. Anak-anak, khususnya, akan merasa lebih percaya diri dan termotivasi jika mereka dihargai dalam percakapan.

Penting untuk menyadari bahwa ilmu yang kita miliki bukanlah alat untuk menunjukkan keunggulan, tetapi sarana untuk berkontribusi kepada orang lain. Diskusi yang sehat tidak hanya memperluas wawasan, tetapi juga memperkuat hubungan antarindividu. Jika setiap anggota keluarga dan masyarakat mampu menciptakan lingkungan di mana ide-ide dapat dipertukarkan dengan bebas, potensi manusia akan berkembang jauh melampaui kemampuan AI.

Sebagai penutup, mari kita refleksikan: apakah kita menggunakan ilmu kita untuk membangun atau justru menghancurkan? Apakah kita memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh atau menghalangi mereka dengan asumsi-asumsi kita? Perbedaan utama antara otak manusia dan AI adalah kemampuan kita untuk berdialog dengan hati. Gunakanlah ilmu sebagai jembatan, bukan tembok, dan mari kita ciptakan dunia di mana diskusi sehat menjadi budaya yang mengakar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline