Lihat ke Halaman Asli

Khairul Ikhsan

Selamat datang di media masa seputar perkembangan pendidikan

Bullying di Lingkungan Sekolah: Tantangan dan Solusi melalui Kurikulum Merdeka

Diperbarui: 10 Januari 2025   04:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto ilustrasi siswa mengalami bullying (Sumber: Artificial Intelligence)

Kekerasan fisik, verbal, dan mental di lingkungan sekolah tetap menjadi masalah serius yang memengaruhi kesehatan mental siswa. Kasus-kasus seperti perundungan (bullying), pelecehan verbal, hingga tekanan mental akibat persaingan akademik menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk belajar. Situasi ini sering kali dibiarkan atau dianggap sebagai bagian normal dari proses tumbuh kembang, padahal dampaknya dapat berlanjut hingga masa dewasa.

Dalam lingkup fisik, kekerasan berupa pemukulan atau tindakan agresif lainnya sering kali dilatarbelakangi oleh dinamika kelompok yang tidak sehat. Siswa yang mengalami kekerasan fisik tidak hanya terluka secara jasmani, tetapi juga kehilangan rasa percaya diri. Kekerasan verbal, seperti ejekan, hinaan, atau komentar negatif, dapat merusak harga diri siswa. Sementara itu, kekerasan mental seperti tekanan emosional, isolasi sosial, atau intimidasi memicu rasa cemas, stres, dan bahkan depresi.

Kurikulum Merdeka yang diperkenalkan oleh pemerintah menjadi salah satu solusi untuk mengatasi persoalan ini. Program ini tidak hanya fokus pada pencapaian akademik, tetapi juga pada pengembangan karakter dan keterampilan sosial siswa. Pendekatan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) memungkinkan siswa bekerja sama, membangun empati, dan memperkuat komunikasi yang positif.

Selain itu, Kurikulum Merdeka mendorong keterlibatan guru dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif. Guru dilatih untuk mengenali tanda-tanda siswa yang menjadi korban kekerasan dan memberikan pendampingan yang sesuai. Dengan demikian, guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing yang peduli terhadap kesejahteraan siswa.

Di sisi lain, keterlibatan orang tua juga menjadi aspek penting. Kurikulum Merdeka menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara sekolah dan keluarga dalam mendidik siswa. Melalui komunikasi yang terbuka, orang tua dapat membantu anak mereka mengatasi masalah yang dihadapi di sekolah.

Untuk mendukung hal ini, sekolah perlu menerapkan kebijakan anti-kekerasan yang tegas. Kebijakan ini mencakup pencegahan, penanganan, hingga pemulihan bagi korban. Melibatkan siswa dalam merancang aturan dan kegiatan sekolah juga membantu menciptakan rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama.

Selain itu, program bimbingan konseling yang aktif sangat diperlukan. Kurikulum Merdeka memberikan ruang bagi konselor sekolah untuk berperan lebih besar dalam membantu siswa mengelola emosi dan menyelesaikan konflik. Konselor dapat menjadi tempat aman bagi siswa untuk berbagi masalah tanpa takut dihakimi.

Penggunaan teknologi dalam Kurikulum Merdeka juga dapat dimanfaatkan untuk memantau dan mencegah kekerasan di sekolah. Aplikasi atau platform digital yang dirancang untuk melaporkan kekerasan secara anonim memberikan solusi praktis bagi siswa yang takut berbicara secara langsung.

Pada akhirnya, memerangi kekerasan fisik, verbal, dan mental di sekolah memerlukan kerja sama semua pihak. Kurikulum Merdeka adalah langkah besar dalam menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung pertumbuhan akademik dan emosional siswa secara seimbang. Hanya dengan menciptakan ruang yang aman, siswa dapat belajar dan berkembang dengan optimal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline