Membicarakan sosok inspiratif, takkan habis dideretkan berbaris nama. Ada banyak tokoh di Indonesia ini yang patut kita apresiasi perjuangannya dalam menjalani hidup dan kehidupan. Sehingga mampu menginspirasi banyak orang untuk selalu berbuat baik dan melakukan perbaikan bagi diri sendiri maupun orang lain. Lelaki maupun perempuan.
Untuk makhluk yang tercipta dari tulang rusuk Adam itu saya mempunyai tokoh sendiri, "Bunda" begitu saya biasa menyapa. Bernama Anis Hidayatie, merupakan perempuan tangguh dan pantang menyerah. Single parent, penulis, termasuk Kompasianers, guru di sekolah swasta hingga guru ngaji di TPQ.
Kesehariannya sangatlah padat, diawali dini hari, ini terlihat dari status online gawainya. Biasanya saat itu ia gunakan untuk menulis sebagai katarsis atau obat dari segala lelah hati dan pikiran ketika menjalani rutinitas di siang hari.
Lalu menjelang subuh, ia bergegas mengucurkan air suci pada muka, menyungkurkan diri pada yang maha kuasa. Lepas itu dia urus pekerjaan rumah dan menyiapkan dagangan makanan dan minuman untuk dijual keliling.
"Untuk menafkahi penghuni rumah setiap hari." Begitu dia jawab ketika saya bertanya, Untuk apa Bunda lakukan itu?
Padahal dia guru, penulis pula. Tak ada gengsi padanya menyusuri jalanan, menjajakan makanan. "Yang penting halal," tuturnya.
Aktifitas menjadi guru dia lakukan ketika ada jam mengajar hingga bel pulang berbunyi. Menuju rumah dan berlanjut kegiatan lain sore hari. Lepas asar, dia berikan waktunya untuk mengajar mengaji bagi anak-anak tetangga, di TPQ yang terletak di rumahnya juga. Kesehariannya tak pernah kosong dan waktu sungguh berharga baginya.
Banting Setir Menjadi Tulang Punggung Keluarga
Semenjak kehilangan belahan nyawa, ia banting setir menjadi tulang punggung keluarga. Menghidupi dua orang anak dan seorang ibu mertua. Mencari nafkah ke sana-sini demi anak tetap sekolah dan ibu mertua tetap makan.
Sebagai guru di sekolah swasta, meski dengan gaji yang tidak seberapa, ia masih tetap mengajar. Sebab baginya, guru adalah pekerjaan mulia serta bukti pengabdiannya kepada negara demi keberlangsungan anak bangsa di masa depan.
Tidak jarang gajiannya terlambat, bahkan tidak ada gaji sama sekali. Maklumlah sekolahnya swasta yang hanya mengandalkan dana BOS untuk menggaji guru. Tersebab takdir membawanya mengabdi di sebuah sekolah yang muridnya mayoritas keluarga miskin. Sehingga Kepala Sekolah menggratiskan biaya sekolah dan tanpa ada pungutan apapun. Biaya sekolah full hanya dari dana BOS. Padahal, sekarang dana BOS tidak bisa dialokasikan untuk menggaji guru. Ah, semoga wacana Nadim Makarim yang membolehkan dana BOS bisa digunakan 50 persen untuk menggaji guru, bukan angin surga semata.