Perempuan itu, ia terlahir dari semaian kata-kata. Bertumbuh di dalam buaian alinea-alinea prosa. Lalu menjulang di antara berbagai hipotesa. Terkadang menyaru sebagai sajak-sajak garang seorang pejuang. Terkadang pula menjelma menjadi senyap. Di mana hanya air mata yang berbicara.
Di kepalanya begitu banyak lembaran-lembaran usang bertuliskan ragam cerita. Berawal dari teluk roman tentang harapan dan cinta. Lalu berakhir di semenanjung hikayat tentang elegi dan obituari hati.
Sejatinya, ia telah terbabit dalam cakrawala yang teraniaya oleh tangan-tangan kuasa. Di antara sungai-sungai yang terbiasa mengalirkan limbah mercuri dan sampah orang-orang kota. Juga di antara tanah-tanah rimba yang meradang, terjerat debu jerebu api perluasan lahan.
Meski demikian, di hatinya masih tertanam benih-benih asa. Bertumbuh pada lembaran perkamen-perkamen rasa yang dibubuhi tanda cinta, sebagai bukti keberadaan jiwa.
Ia, perempuan yang mengaku terlahir dari semaian kata-kata. Telah terlatih dan tertatih membasuh air mata dengan air mata.
Angsana, 13 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H