Manakala gempita hari telah lenyap tak berbekas. Cakrawala senyap tak berpias. Seorang perempuan tergugu merundungi getir kenyataan yang tak sejalan dengan harapan. Di mana rindu telah berkhianat menggoreskan kecewa pada hati yang selalu meyakini cinta akan berakhir dengan bahagia. Menyisakan belati kenangan yang terus saja mencabik-cabik ingatan.
Sejatinya, ia adalah seorang penyair yang teramat piawai merakit kata-kata menjadi puisi. Namun kini, aksara-aksaranya telah dipaksa memilih untuk menggauli sepi. Di mana tak ada lagi seulas rindu saat mengeja senja yang sendu. Juga tak ada lagi serbuk kenangan yang terseduh bersama pekatnya kopi dalam secangkir keheningan.
Perempuan itu, masih mengikat beranda hati dalam rangkaian kata-kata yang mati. Tanpa nyawa, tanpa rasa. Hingga, sebuah puisi atau beberapa sajak telah melancarkan misi untuk membunuhnya dalam samarnya arti. Tanpa peduli, tanpa empati. Pada perempuan yang meski telah membuatnya utuh sebagai tubuh puisi. Namun, telah mengingkari makna keindahan dari sebuah rangkaian diksi. Juga makna kesakitan yang justru akan mendewasakan diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H