Lihat ke Halaman Asli

Julak Ikhlas

Peminat Sejarah dan Fiksi

Satu-satunya Rindu

Diperbarui: 17 September 2019   05:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: pixabay.com

Ketika matahari mulai merangkak di kaki pagi. Aku kembali mengingatmu, sebagai satu-satunya mimpi yang ingin kuulang lagi. Bukan seperti mimpi-mimpi tanggung yang sengaja disudahi oleh desir angin malam, riuh gelombang, atau perasaan ingin kencing yang tak tertahankan.

Ketika matahari telah terpancang di singgasananya. Aku membicarakan matamu yang selalu terpancar indah di terik renjana. Bukan seperti mata-mata sayu yang kehilangan kesegaran, kosong menatap kehampaan, atau mata munafik yang selalu dipenuhi kotoran.

Lalu, tepat setelah senja meninggalkan lahan dan tetabuhan hari nyenyak ditimang kesunyian. Aku melukiskan wajahmu di antara bintang-bintang, menceritakan senyummu di kenangan yang tak pernah hilang, atau sekadar mengedipkan mata genit padamu yang selalu membayang dalam ingatan.

Kau tahu? Di sepanjang waktu, bahkan di setiap detiknya. Hanya ada dirimu yang masih menjadi satu-satunya rindu.

Angsana, 17 September 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline