Aku menemukan bercak-bercak resah yang tumbuh di wajahmu. Berderuk dalam desah yang kian memapah basah di ceruk matamu. Membanjiri setiap pori-pori pipi, hingga tandas menuju bumi.
Deraian itu, kupahami sebagai buncah kerinduan yang begitu tipis di ujung penantian. Bahwa kita akan kembali remuk-redam dalam renjana tak berkesudahan. Aku akan pergi lagi membopong anak-anak sunyi dalam gerbong-gerbong keterasingan. Dan seperti biasa, kau akan kembali menenun air mata di halte penantian.
Kau berkata bahwa kau akan setia menanti. Kau seka air mata. Lalu, sesungging senyum kau lontarkan dengan begitu getirnya.
Aku tergugu menyigi ringkih pasrahmu. Tergagap mengeja kata-kata di sela serpih rintihmu. Sebab, remah-remah tabah itu tak lain hanyalah tetabuhan tangis yang kau paksakan berhenti.
Semestinya, aku tak lagi menyayat hatimu dengan memintamu kembali bertahan untuk menungguku. Sebab, kutahu menunggu berarti membiarkanmu terus menimang pilunya sembilu rindu.
Namun, kau tahu perjalanan mimpiku masih di ujung rel waktu. Masih banyak stasiun-stasiun rutinitas yang harus kulewati dengan kesabaran. Sebagai bekal dan modal untuk menukar harga dari sebuah pertemuan.
Sayang, tetaplah di situ! Anyamlah helai-helai rindu yang kau gulung itu. Biarkan ia tergerai di punggungmu. Sebagai penanda bahwa saujanamu masih duduk di ruang tunggu. Hingga nanti aku kembali menyapamu dalam pertemuan paling padu memuai rindu. Di tempat berpulangnya segala dekap yang telah meminang harap padamu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI