Lihat ke Halaman Asli

Julak Ikhlas

Peminat Sejarah dan Fiksi

Pesta

Diperbarui: 21 Februari 2019   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: pixabay.com

Sinar mentari pagi menembus jendela kamarku. Hangat, tapi sinarnya menyilaukan mata, memaksaku untuk membuka mata dan beranjak dari tempat tidur. Membuka pintu kamar, tiba-tiba bau tak sedap masuk ke dalam indra penciumanku.

"Ah ... Sampah itu, aku harus segera membuangnya."

Setelah mandi, aku segera memakai celana hitam dan kemeja putih serta dasi hitam putih bergaris layaknya pegawai kantoran. Sebelum menaiki mobil, kuangkut sampah itu dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Mesin mobil telah hidup dan siap melaju menuju ke tempat kerja.

Jalanan sepi ketika mobil memasuki hutan, aku bergegas memarkirkan mobil, membuka bagasi sambil memperhatikan di sekitar, apakah ada orang atau tidak? setelah dirasa aman, kuseret sampah itu masuk ke dalam hutan agar tidak terlihat dari jalan kemudian membuangnya.

"Beres ... Rani, selamat tinggal," ucapku lirih, tak terasa bulir bening menetes dari sudut mataku sambil beranjak pergi.

Di perjalanan, ingatan tentang Rani masih saja membekas di pikiranku, tentang malam yang begitu menggairahkan, tentang kepuasan menikmati batang tubuhnya yang ranum itu. Namun, aku menyesal, seharusnya aku membuat tubuhnya lebih awet dan tidak akan membusuk terlalu cepat.

***

"Gimana mas Andre, jadi ikut kumpul bareng kita nanti malam?" tanya Farah yang kubalas dengan anggukan, tersirat hasrat.

"Eh, gimana kalau kumpulnya di rumah saya saja? Tenang, di rumah gak ada siapa-siapa kok," pintaku, naluriku seolah memintanya

"Iya boleh tuh," jawab Gilang.

"Setuju," sahut Farah, Sutik, Deni dan Riska serentak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline