Pada dasarnya dalam membentuk suatu kota yang berkelanjutan dan memiliki konsep SMART CITYmaka diperlukannya suatu strategi penataan. Dalam tata kelola perkotaan terdapat 6 komponen yang harus dipertimbangkan, antara lain :
Planning Process Competitivines
Infrastructure and system management Land and Urban Form Management
Urban Institusional Management Urban Space and Hinterland Management
Dari keenam komponen diatas idealnya keseluruhan komponen itu harus diterapkan dalam tata kelola kota, agar muncul outputkota yang berkelanjutan. Pada faktanya aktualisasi komponen diatas dalam penataan kota masih tergolong belum maksimal, dari hal ini maka akan lahir isu isu strategis tata kelola perkotaan akibat dari aktualisasi komponen diatas yang belum maksimal oleh karena itu pada tulisan ini penulis akan meninjau isu strategis dari komponen Land and Urban Form Management.
Isu Manajemen Lahan dan Bentuk Kota ketika dibedah maka akan terdiri dari unsur manajemen, lahan, dan bentuk kota. Manajemen sendiri adalah suatu seni dalam ilmu dan pengorganisasian seperti menyusun perencanaan, membangun organisasi, dan pergerakan, serta pengendalian atau pengawasan, simplenya adalah seni untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia saling bekerja sama untuk menghasilkan sesuatu yang diharapkan, lalu lahan, adalah lingkungan fisik dan biotik yang berkaitan dengan daya dukungnya terhadap kehidupan dan kesejahteraan hidup manusia.
Sedangkan Bentuk Kota adalah menurut ( Malvile C. Branch, 1984:154 ) kota merupakan suatu komponen yang memiliki unsur yang terlihat nyata secara fisik seperti perumahan dan prasarana umum, hingga komponen yang terlihat secara fisik tidak dapat terlihat yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan kota. sehingga kesimpulannya Manajemen Lahan dan Bentuk Kota adalah suatu sistem untuk mengelola, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan lahan perkotaan dengan orientasi untuk kesejahteraan masyarakat, dengan termanajemennya lahan perkotaan maka akan menghasilkan pola dan bentuk kota yang bagus dan indah. Dalam mendukung manajemen lahan dan bentuk kota maka diperlukan key actoruntuk mendukung pelaksanaan dan ikut berperan dalam merencanakan perkembangan perkotaan, serta dengan adanya inovasi dan kreasi hal ini harapannya bertujuan agar terbentuknya bentuk kota yang dinamis dan tidak monoton.
Dalam manajemen lahan terdapat 3 lingkup yang menjadi pokok bahasan, yaitu lingkup pengadaan, lingkup pemanfaatan, dan lingkup pengendalian. Lingkup yang pertama adalah lingkup pengadaan lahan, lingkup ini akan muncul 3 isu, isu pertama adalah penawaran dan permintaan lahan, dalam hal ini muncul 2 persoalan antara lain sulitnya memperoleh lahan dan harga lahan yang tinggi seperti yang terjadi sekarang di pusat kota, dimana dampak dari ini adalah munculnya kawasan permukiman liar akibat dari tidak dapat membeli rumah di daerah perkotaan. lalu isu kedua adalah kelembagaan, dalam isu kelembagaan akan memunculkan 2 persoalan utama, yaitu ijin lokasi yang berlebihan, prosedur pengadaan dan pembebasan lahan yang tidak pasti, dan konflik kepentingan/kewenangan lembaga. Sebanyak 85% proses perizinan investasi dilakukan di daerah, menurut BKPM ( Badan Kordianasi Penanaman Modal ) izin lokasi, peruntukan tanah, penggunaan air tanah, dll, dilevel Pemda seperti Black Box,jadi pihak pengurus perijinan tidak mengetahui standartnya, selain itu proses pengadaan dan pembebasan lahan juga seringkali tidak jelas prosedurnya, seperti pembebasan lahan permukiman di daerah Keputih untuk perluasan Taman Kota menimbulkan konflik dengan masyarakat akibat prosedur yang tidak jelas. Isu ketiga adalah hak atas tanah, dalam isu ini terdapat persoalan mengenai ketidakpastian kepemilikan tanah, sengketa tanah, dan status lahan untuk hak adat. Persoalan ini tercermin pada pembebasan permukiman di daerah Keputih, Surabaya, ditemukan adanya hak ganda atas tanah, dalam satu tanah tersebut memiliki 3 hak atas tanah, yaitu milik Pakuwon, PDAM Surabaya dan warga setempat.
Selanjutnya adalah lingkup pemanfaatan, dalam lingkup ini muncul dua isu, isu pertama yaitu isu penataan lahan, isu ini terdapat persoalan antara lain lahan terlantar, stagnasi fungsi, ketidakteraturan pemanfaatan lahan, dan pengembangan kegiatan di lokasi yang tidak tepat. Contoh dari isu penataan lahan ini adalah komplek Marvell Mall di Surabaya, dimana terdapat lahan terlantar yang sudah terbangun bangunan yang mangkrak akibat kekurangan dana. Isu kedua yaitu ekonomi dan nilai lahan, isu ini terdapat persoalan sebaran kegiatan pelayanan yang tidak merata, investasi yang tidak optimum, dan timbulnya eksternalisasi negative. Misalkan investor membeli lahan di kawasan Tunjungan lalu dibuat menjadi tempat parkir, maka ditinjau dari keruangan dan ekonomi maka hal ini tidak ideal, dimana idealnya adalah untuk hotel, perdagangan jasa atau mall.
Lalu yang terakhir adalah lingkup pengendalian lahan, dalam lingkup ini isu yang muncul adalah penataan lahan, dalam isu ini muncul persoalan pembangunan yang tidak terkendali dan perubahan pemanfaatan lahan. Persoalan ini adalah persoalan yang sering terjadi di Surabaya, banyaknya peralihan lahan dari kawasan permukiman biasa menjadi Apartement seperti pada Apartement Gunawangsa, kawasan permukiman yang berubah menjadi kawasan perdagangan dan jasa seperti di jalan Kertajaya, selain dari case tersebut juga banyaknya peralihan lahan produktif berubah menjadi lahan industri, seperti lahan persawahan berubah menjadi daerah perumahan formal atau kawasan industri.
Selanjutnya ketika dibenturkan antara manajemen lahan dengan bentuk kota maka isu strategis yang akan muncul adalah urban sprawl dan konurbasi. Urban sprawl adalah pemekaran kota ke daerah daerah di sekitarnya secara tidak terstruktur, acak, tanpa adanya rencana. Sedangkan konurbasi adalah hilangnya batas batas perkotaan akibat dari pertumbuhan kota dan populasi yang terus meningkat sehingga secara fisik terlihat satu wilayah yang membanung. Urban sprawl muncul karena adanya peralihan penggunaan lahan di sekitar kota, hal ini bisa disebabkan oleh faktor pengendalian lahan yang kurang dan permintaan lahan yang melebihi ketersediaan lahan yang ada, sedangkan konurbasi sendiri muncul karena luas kota yang terus meluas sampai daerah lainnya, contohnya seperti Surabaya -- Sidoarjo, pada jaman dulu masih terlihat batas kotanya namun sekarang batas tersebut sudah tersamarkan, contohnya dari Surabaya menuju ke Bandara Juanda di sepanjang jalan cenderung pemandangan yang ada hanyalah kawasan perdagangan jasa dan industri akibat dari terus tumbuhnya kota Surabaya.