Lihat ke Halaman Asli

I Ketut Sudarsana

Abdi Negara pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Nyasa Rupa Dalam Agama Hindu

Diperbarui: 20 Juli 2015   15:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai sebuah agama yang merupakan wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Hindu menyadari keterbatasan umatnya dalam menghubungkan diri dengan Tuhannya. Dalam hal ini tidak semua orang dalam suatu tingkat tertentu dapat mengungkapkan Tuhan dalam bentuk abstraknya tanpa wujud nyata. Sehingga untuk mengarahkan pikiran menuju Tuhan dan memudahkan konsentrasi, maka diperlukan suatu bentuk tertentu (Nyasa Rupa). Dalam konsepsi Hindu, untuk menuju Tuhan terdapat empat jalan sebagai usaha manusia untuk dapat memahami sifat-sifat dan keadaannya. Keempat jalan itu disebut dengan Catur Marga yaitu : Raja Yoga Marga (jalan melalui renungan batin), Jnana Marga (jalan melalui pengalaman ilmu pengetahuan), Karma Marga (jalan melalui pengorbanan, tingkah laku dan perbuatan), dan Bhakti Marga (jalan melalui sujud bhakti atau penyerahan diri).

Keempat jalan di atas memiliki cara-cara tersendiri dan tidak semua orang dapat menempuh semua jalan tersebut. Namun demikian, setiap orang boleh memilih jalan yang dianggap tepat dan dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya. Untuk mencapai tujuan hidup beragama, dalam agama Hindu banyak menggunakan simbol yang disebut dengan Nyasa Rupa. Dalam kamus Jawa Kuna – Indonesia disebutkan pengertian Nyasa adalah simpanan, titipan, jaminan, tanggungan, petaruh; sanyasambek nira gelenga : sebagai jaminan atau petaruh akan kemurahan hatinya. Senada dengan pengertian tersebut, Nyasa juga dikatakan berlaku sebagai, bersikap akan, sanyasa sebagai atau sebagai penggantinya, demikianlah jika, seperti, seakan-akan.

Sedangkan di dalam kitab Weda Parikrama dijelaskan bahwa Nyasa yang banyak dipakai dalam agama Hindu adalah simbol dengan garis-garis tertentu yang disebut Yatra atau Rekha, perpaduan warna dan kembang, gambar-gambar tertentu dan Arca yang wujud dan bentuknya kadang-kadang seperti nyata yang semuanya merupakan sekala sarira (badan kasar). Huruf adalah badan kasar yang dapat dipakai sebagai Nyasa (Pudja, 1989 : 28).

Sesuai dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Nyasa adalah sifat-sifat Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk mantra, doa, stotra, lagu dan lain-lainnya yang merupakan ucapan, pikiran atau pernyataan apa yang terpikir dan ditujukan kepada Tuhan dengan penuh arti dan rahasia, sedangkan wujud benda-benda sebagai simbol dengan garis-garis tertentu yang disebut dengan Yatra atau Rekha, perpaduan warna-warna, kembang, gambar-gambar, huruf, dan arca (gross body) yang bentuknya kadang-kadang seperti nyata. Semua yang disebutkan di atas pada akhirnya adalah merupakan aspek sunyata, dalam berbagai istilah dikenal dengan nama trancenden, niskala, nirguna, nirwikara. Yang artinya sama sebagai hakekat yang tidak dapat dikatakan, tidak bisa diucapkan, tidak bisa dinamakan dan tidak bisa digambarkan.

Sedangkan Rupa dalam kamus Bahasa Bali disebutkan pengertian dari Rupa itu mempunyai arti warni, goba yang dalam bahasa Indonesia berarti bentuk. Sedangkan dalam kamus kecil Sanskerta – Indonesia disebutkan Rupa adalah penampilan, bentuk, Rupaka: bersifat pelambang; Rupana : penandaan berupa pelambang (Tim, 1983 : 199). Dalam kitab Weda Parikrama dijelaskan hubungan antara mudra dan mantra dalam teori Nyasa erat sekali, sebagaimana halnya antara nama dan rupa, suara (wak) dengan artha dan lain-lainnya. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Rupa adalah bentuk, warna, penandaan yang berupa pelambang dan mempunyai hubungan erat dengan nama, sifat dan warni.

Pemberian nama atau gelar sifatnya lebih kongkrit apabila dibandingkan dengan penglihatan manusia dalam fantasi pikiran. Pengetahuan mengenai nama-nama berdasarkan kitab suci sebagai sabda Pramana (Agama Pramana) sedangkan pengetahuan nama-nama yang diperoleh secara bebas dapat disebut sebagai Pratyaksa Pramana dan Anumana Pramana. Dalam kaitan dengan hal tersebut, salah satu aspek untuk mempelajari ketuhanan adalah berusaha untuk mengenal atau mengetahui Tuhan berdasarkan sebuah nama, serta penggambaran tentang sifat dan hakekat-Nya.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Nyasa Rupa adalah sifat-sifat Tuhan yang dihayalkan manusia menurut fantasi manusia atau pikiran manusia, seolah-olah apa yang dipikirkan tersebut sesuai dengan aslinya. Kemudian sifat-sifat Tuhan (murtinya) diwujudkan dalam bentuk Nyasa yang sifatnya abstrak, karena perwujudannya dalam bentuk mantra dan mudra sukar untuk diikuti dan dipahami oleh orang awam. Nyasa dibuat menjadi nyata atau direalisasikan ke dalam bentuk-bentuk huruf, aksara, Padmasana, Meru, Arca dan alat-alat upacara. Di dalam pelaksanaannya, yadnya dan sarana-sarana seperti tersebut di atas disebut simbol.

Nyasa Rupa adalah satu refleksi atau pantulan pemikiran yang dipergunakan sebagai pengganti, seakan-akan yang dimaksud adalah seperti yang sebenarnya. Nyasa Rupa (simbol) sebagai syarat yang sangat penting karena merupakan sarana komunikasi antara penyampai dengan penerima atau antarkomunikator dengan yang diajak berkomunikasi. Dalam berkomunikasi dengan Tuhan, kadangkala manusia mengukur dirinya sendiri. Dengan menggunakan bahasa sehari-hari yang diketahui dan apabila sulit maka simbol adalah sarana (sadhana) pengganti dalam berkomunikasi.

Apapun bentuk dan lambang yang digunakan dan yang tersirat didalamnya haruslah dipahami, sebab bentuk-bentuk dalam sthana dewata atau lambang Nyasa Rupa itu sendiri bukanlah Tuhan. Semua bentuk-bentuk itu tidaklah lebih dari sarana pembantu untuk mengarahkan pikiran kepada Tuhan, bahkan segala perbuatan manusia sebenarnya merupakan simbol-simbol belaka. Di dalam bentuk Nyasa Rupa inilah sifat-sifat Tuhan yang tidak terpikirkan itu dapat tercermin (Santhi, 1983 : 18). Penggambaran Tuhan dalam bentuk simbol (Nyasa Rupa) merupakan sumber inspirasi dari para seniman yang ingin menggambarkan Tuhan dalam bentuk seni melalui imajinasi manusia. Melalui imajinasi inilah, maka tercipta bangunan-bangunan suci, lukisan-lukisan, rerajahan-rerajahan, patung-patung dalam bentuk-bentuk pratima, dan dari sastra terciptalah kakawin dan kidung yang dipakai dalam pelaksanan upacara agama.

Sesungguhnya Tuhan ada di mana-mana dan untuk memuja-Nya, maka Tuhan dibayangkan seakan-akan ada dalam suatu obyek tertentu. Tuhan pada konsepsinya yang terakhir adalah tanpa bentuk. Tidaklah ada ketidakmungkinan yang mutlak dalam mengibaratkan bentuk-Nya yang beranekaragam demi kepentingan para penyembahnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline