Pagi itu Jalan Sersan Surip Bandung lumayan panas, tidak seperti biasanya yang sejuk. Mungkin hawanya mengikuti isi pikiranku. Kaki ini berjalan pelan, ku buka mataku agar bisa setajam elang (walaupun sudah minus 0,6) agar bisa menangkap setiap logam yang mungkin terjatuh dijalan. Hmmm.. Iya pagi itu aku menjadi pemulung logam.
Hentakkan tangis anakku cetta yang mengaku bosan makan nasi putih dan kecap telah membuatku lupa jika di Bali itu aku adalah seorang dosen di perguaruan tinggi keagamaan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2009 Tentang Dosen, dosen adalah adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Lho.. kok jadi seperti membuat paper jadinya hehehe. Misiku memulung logam dijalan tiada lain agar bisa membelikan cetta soto ayam kesukaannya (maaf kesukaan aku juga hehehe). Berjalan menyelusuri Jalan Sersan Surip (nanti pembaca bisa lihat rutenya di google map) ternyata masih nihil.
Baru masuk terminal Ledeng aku menemukan satu logam seribuan, "garus, garus, garus" ucapku dalam hati (maklum aku ini anak pedagang pasar, jadi setiap ada pembeli pertama pasti mengucap doa "garus" dengan harapan akan terus ada pembeli lainnya). Logamnya ini besar, jika waktu kecil sering dipakai main tembing.
Baru dapat satu logam, butuh enam lagi karena harga seporsi soto itu tujuh ribu (rupiah ya, bukan ringgit apalagi dolar). Aku lanjutkan langkah keluar terminal menelusuri Jalan Setiabudi, sampai di eNHaii (STP Bandung) masih nihil. "Kalau jalan besar begini mana ada yang jatuhin logam" pikirku.
Akhirnya ku balikkan langkah dan masuk di Gang H. Ridho, tempat kostku pertama sebelum pindah ke Jalan Sersan Surip. Tepat depan Masjid Baiturrakhman, aku lihat ada logam lagi. Asyikk walaupun hanya lima ratus tidak masalah, itu sangat berharga. Ku lanjutkan perjalanan menelusuri Jalan Gegerkalong Tengah menuju Jalan Gegerkalong Girang.
Kaki ku sudah mulai gemetaran, mungkin sudah tidak sekuat pikiranku untuk membeli soto. Sambil duduk didepan fotocopyan mataku masih awas menjelajahi got didepanku. Dan.... Ternyata ada yang terselip diantara sampah plastik. Secepat kilat aku turun ke got dan mengambil logam itu, lima ratus gaess...
Dua ribu sudah terkumpul, masih butuh lima ribu lagi, namun kakiku sudah tidak kuat lagi dan dagang sotonya juga sudah dekat. Dagang soto ayam ini kalau tidak salah ingat berjualan dibalik tembok Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan UPI.
Dibandingkan aku jalan lagi dan belum tentu dapat logam, apalagi uang kertas, aku putuskan untuk membeli soto dua ribu saja. "Mas beli soto, tapi kuahnya saja ya" "Untuk apa pak?" Tanya dagang sotonya. "Ngasi makan kucing mas" jawabku. Ehmmm kira-kira begitulah skenario yang terlintas dalam benakku hehehe.
Sebenarnya aku masih ragu mendekat dagang soto (ragu dan malu beda tipis), sehingga sewaktu ada mahasiswi yang juga akan membeli soto ku persilahkan duluan. "Terimakasih pa" katanya. Mungkin dia menganggap aku ini pria yang baik hati sampai mau mempersilahkan wanita yang duluan.
Sampai dengan aku sendirian disamping gerobak soto, sehingga mau tidak mau aku harus menanggung semua malu untuk mengatakan beli soto namun kuahnya saja dua ribu. Baru aku katakan begitu pada dagang soto sekelibat melintas wanita menggunakan motor seperti ku kenal. Segera aku melongok kejalan dan berteriak "Dek.. dek....dek..." Ternyata teriakan aku ini didengarnya yang membuat dia berbalik lagi mendekat.